Jumat, 15 Juli 2011

SENI WAYANG DAN DAKWAH PARA WALI


by Ki Dalang Mukti Pandhitasakti

Apa yang dimaksud dengan dakwah itu? Dakwah, artinya mengajak—mengajak manusia taat kepada Allah Subhanahuwata’ala. Taat kepada Allah Subhanahuwata’ala, senantiasa mempunyai dua unsur, yakni iman dan amal sholeh.
Iman adalah meyakini dengan benar kalimat lha illaha illallah—tidak ada Tuhan selain Allah. Iman ini tidak kelihatan, letaknya di hati. Tidak kelihatannya iman di hati ini, permisalannya seperti semut hitam yang berjalan di atas batu hitam pada waktu malam hitam—tidak siapa pun bisa melihat bahkan diri sendiri juga tidak jelas.
Sedang amal sholeh kedua adalah Muhammadar Rasuulullaah, yakni mengikuti apa-apa yang disyariatkan oleh agama sesuai dengan sunnah atau contoh Rasulullah Sallalaahu’alaihi wasallam. Amal sholeh ini kelihatan, letaknya di laku atau perbuatan.
Banyak amal sholeh atau apa-apa yang disyariatkan oleh agama sesuai dengan sunnah atau contoh Rasulullah Sallallahu’alaihi wasallam itu, tetapi bagaimanapun banyaknya amal sholeh atau apa-apa yang disyariatkan oleh agama sesuai dengan sunnah atau contoh Rasulullah Sallallaahu ‘alaihi wasallam itu, tidak akan lepas dari tiga perkara, yakni: suroh, siroh, dan sariroh.
Suroh, artinya gambar—gambar Nabi seperti memotong kumis, memanjangkan janggut, memakai serban, jubah, celana blunci (celana panjang di bawah dhengkul atas kemiri), dan sebagainya.
Siroh, artinya jalan—jalan Nabi untuk sampai kepada Allah, yakni ibadah—seperti dzikir, sholat, zakat, puasa, haji, dan sebagainya.
Sariroh, artinya pikir—pikir Nabi dalam bentuk dakwah mengajak manusia seluruh alam untuk taat kepada Allah dari lorong ke lorong, dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu, dan sebagainya.

A. Dakwah Para Wali
1. Dasar
Dasar dakwah para Wali, adalah Al-Qur’an surat An-Nahl, 125: “ud’uu ilaa sabiili robbika bil hikmah.....”: “ajaklah manusia kepada Tuhanmu dengan hikmah.....”. Hikmah itu bijaksana—dalam istilah Jawa: ngono ya ngono ning aja ngono: begitu ya begitu, tetapi jangan begitu. Artinya, syariat yang ada memang begitu, tetapi karena suatu hal, maka tidak begitu, melanggar syariat. Tetapi karena tidak begitu atau melanggar syariatnya orang dakwah, maka mudah-mudahan Allah ampunkan, atau jika kelak di akhirat syariat itu menuntutnya mudah-mudahan atau bahkan pasti, Allah bela.
Dalam aplikasinya, bijaksana itu: 1. dapat bergaul dengan siapa saja, 2. bicara sesuai dengan suasana dan keadaan, 3. sabar, dan 4. sungguh-sungguh.

a. Dapat Bergaul dengan Siapa Saja
Dapat bergaul dengan siapa saja, menurut pemikiran orang Jawa adalah : 1. bisa manjing ajur-ajer, 2. bisa mulur mungkret, 3. bisa ngeli ning ora keli, 4. bisa namur kawula, 5. bisa empan papan, dan 6. ora waton bener ning kudu pener.
Orang Jawa terhadap pemikiran tersebut tampak dalam kebiasaanya ketika memberi saran atau himbauan kepada orang lain dengan bahasanya: ”jenenge ‘wong srawung ‘ki mbok sing (namanya orang bergaul itu mbok yang): bisa manjing ajur-ajer, bisa mulur-mungkret, bisa ngeli ning ora keli, bisa namur kawula”.
Bisa manjing ajur-ajer, artinya bisa melebur, atau bisa menyatu dengan siapa saja: dengan orang kaya, orang miskin, pejabat, rakyat, dan sebagainya.
Bisa mulur-mungkret artinya dalam menghadapi masalah apa pun yang ada bisa tarik ulur sesuai dengan suasana dan keadaannya—tidak kaku, tidak sak klek, tidak apa eneke (tidak apa adanya).
Bisa ngeli ning ora keli, bahkan di kalangan orang-orang Jawa ada anjuran untuk bisa tapa ngeli. artinya bisa melarutkan diri dengan siapa pun dan bagaimanapun mereka: petani kaya, petani miskin, pedagang kaya, pedagang miskin, pejabat kaya pejabat miskin, dan sebagainya. Tetapi satu hal dalam pergaulan ini, tidak larut dalam perkara-perkara yang negatif.
Bisa namur kawula, artinya bisa merakyat: walaupun dirinya pejabat, tetapi bisa bergaul dengan rakyat. Walaupun dirinya kaya, tetapi bisa bergaul dengan orang miskin. Walaupun dirinya ulama, tetapi bisa bergaul dengan umat, dan sebagainya.

b. Bicara Sesuai dengan Suasana dan Keadaan
Bicara sesuai dengan suasana dan keadaan, menurut pemikiran orang Jawa adalah :1. empan papan, 2. bener pener.
Orang Jawa terhadap pemikiran tersebut tampak dalam kebiasaanya ketika memberi nasehat dengan bahasanya: “uwong ‘ki yen omong sak omong mbok sing (orang itu kalau bicara mbok yang): nganggo empan papan, ora waton bener ning kudu pener”.
Nganggo empan papan, artinya memakai dasar mengena—tepat sasaran—seperti makan itu penting misalnya, tetapi jangan dibicarakan di tengah-tengah orang yang sedang puasa. Lapar itu juga penting, tetapi jangan dibicarakan di tengah-tengah orang yang sedang prasmanan (sedang rame-rame makan bersama). Kalau itu tetap dibicarakan, mengena memang, tetapi tidak tepat sasaran, alias tidak nganggo empan papan.
Ora waton bener ning kudu pener, artinya tidak asal benar tetapi harus susuai dengan tempatnya. Menyampaikan hukum haramnya judi misalnya, itu memang benar. Tetapi, kalau menyampaikannya di tengah-tengah orang yang sedang asik judi, itu tidak sesuai dengan tempatnya. Sebab, bisa-bisa tidak diterima tetapi malah dipukuli.
Di kalangan “orang-orang Dakwah”, bijaksana dalam konteks bicara sesuai dengan keadaan itu seperti adab-adab khususi—kepada ulama, umaro, aghniya, orang miskin, “karkun dingin”, orang umum, dan sebagainya yang tidak boleh disamakan.
Adab khususi kepada ulama, adalah minta doanya, tidak men-tasykil (tidak mengajak langsung), dan dianjurkan untuk memberi hadiah dengan tangan dari bawah.
Kepada umaro atau pejabat pemerintah seperti, Pak Dukuh, pak Lurah, pak Camat, Kapolsek, Kapolres dan sebagainya, bicara menyampaikan maksud dan tujuan dakwah serta program-programnya secara jelas.
Kepada aghniya atau orang-orang kaya, boleh berpakain rapi, tidak menghabiskan minuman yang disuguhkan, dan tidak memandang takjub terhadap kekayaannya.
Kepada orang miskin, boleh langsung duduk kursi yang telah disediakan tanpa menampakkan rasa keragu-raguannya karena kotor, rusak, dan sebagainya, juga boleh menghabiskan minuman dan suguhannya.
Kepada “karkun dingin” (orang tabligh yang sedang lemah atau hilang semangat dakwahnya), cukuplah minta kargojari atau laporan dari pengalaman dakwah yang telah dilakukan selama ini.
Adapun kepada masyarakat umum sangat dianjurkan untuk bisa ikrom, yakni melarutkan diri sesuai dengan kesukaan mereka. Mereka suka pertanian, khususinya bicara pertanian. Mereka suka perdagangan, khususinya bicara perdagangan, dan sebagainya (ngeli ning ora keli).

c. Sabar
Sabar, menurut pemikiran orang-orang Jawa itu adalah: 1. alon-alon waton kelakon, 2 gremet-gremet angger slamet, 3. gliyak-gliyak waton tumandang.
Alon-alon waton kelakon, artinya pelan-pelan yang penting berhasil, gremet-gremet angger slamet, artinya pelan-pelan yang penting selamat, sedang gliyak-gliyak waton tumandang, artinya pelan-pelan, yang penting bergerak usaha, ‘rasah kesusu ndhak kesluru: tidak usah tergesa-gesa atau jangan nge-jos (istilah orang-orang Tabligh)—nanti hasilnya ndhak tidak baik seperti yang diharapkan.

d. Sungguh-sungguh
Sungguh-sungguh itu, menurut pemikiran orang-orang Jawa adalah dakwah sebagai pekerjaan pokok. Sedang dagang, tani, guru, atau yang lain, hanya sebagai pekerjaan samben atau sambilan saja.
Pemikiran orang Jawa tentang sungguh-sungguh tersebut, bisa dilihat dalam bahasa samben yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta bisa dilihat dalam prinsip dagang yang ada.
Bahasa samben yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, bisa dilihat ketika menanyakan sebuah pekerjaan pada seseorang:

“sambene napa pak? nyambi napa pak? napa sambene pak?: pedagang? petani? guru?

(Sambilannya apa pak? nyambil apa pak? apa sambilannya pak? pedagang? petani, guru?).

Jadi, seluruh pekerjaan yang dilakukan oleh orang Jawa tersebut dianggapnya sebagai sebuah samben atau sambilan. Jika demikian—seluruh pekerjaan orang Jawa tersebut di anggapnya sebagai sambilan, lalu pekerjaan pokoknya apa?—dulu tidak banyak orang tahu, tetapi sekarang setelah adanya usaha dakwah orang-orang Tabligh, terjawab sudah bahwa pekerjaan pokoknya orang Jawa adalah dakwah. Oleh karena itu, ajaran di balik bahasa samben tersebut adalah agar semua orang Jawa mau mengambil usaha dakwah sebagai pekerjaan pokoknya.
Prinsip dagang yang ada di dalam kehidupan masyarakat Jawa, adalah: tuna satak, bathi sanak, artinya tidak mengapa rugi dagang, asal untung dapat saudara.
Tidak mengapa rugi dagang, maksudnya pekerjaan dagang (termasuk pula petani, guru, dan sebagainya) itu hanya sebagai keperluan saja (sebagai pekerjaan samben atau sambilan), sedang asal mendapatkan saudara, artinya dakwah itu sebagai maksud dan tujuan (sebagai pekerjaan pokok). Dakwah sebagai pekerjaan pokok, karena maksud dan tujuan dakwah itu memang mencari saudara—dalam satu kalimat hlaailaahaillallaah.
Rejeki buat orang Jawa, sangat-sangat mudah: “‘rasah kuwatir angger ana dina rak ya ana upa, angger padhang rak mangan, angger obah rak mamah, anak lahir nggawa rejeki dhewe-dhewe, akeh anak akeh rejekine, rejeki jodho pati iku wis ana sing ngatur”.
‘Rasah kuwatir, angger ana dina rak ya ana upa: tidak usah kuwatir, jikalau ada hari pasti ada nasi—maksudnya pasti makan.
Angger padhang rak mangan, artinya jikalau masih ada siang hari pasti orang makan.
Angger obah rak mamah, artinya kalau mau gerak pasti bisa makan—yang penting mau usaha apa pun bentuknya pasti dapat rejeki.
Anak lahir nggawa rejeki dhewe-dhewe, atau akeh anak akeh rejekine, artinya setiap anak lahir itu sudah membawa rejeki sediri-sendiri, atau banyak anak banyak rejekinya. Jadi, semakin banyak anak rejekinya semakin ditambah, bukan semakin dibagi. Bukan ketika dulu anaknya satu rejekinya Rp. 100.000 (seratusribu rupiah), tetapi setelah anaknya dua rejekinya Rp. 50.000 (limapuluhribu Rupiah), tetapi yang benar ketika dulu anaknya satu rejekinya Rp. 100.000 (seratusribu Rupiah), setelah anaknya dua rejekinya Rp. 200.000 (duaratusribu Rupiah).
Rejeki jodho pati iku wis ana sing ngatur, artinya rejeki jodoh dan mati itu sudah ada yang mengatur”. Siapa yang mengatur? Allah !.
Rejeki yang tidak boleh didahulukan pula daripada dakwah, orang Jawa mengatakan: bandha iku titipan, nyawa gadhohan, pangkat sampiran. Artinya, baik harta, diri, dan jabatan, itu tidak akan langgeng—semua milik Allah dan akan kembali kepada Allah. Oleh karena itu orang Jawa yang tulen adalah orang Jawa yang tidak blereng nyawang bandha, artinya tidak silau melihat harta; tidak terlalu nafsu untuk memiliki harta, karena memang sebanyak-banyaknya harta nilainya tidak akan melebihi sebelah sayap nyamuk.

2. Operasional Dakwah
Operasional dakwah atau pelaksanaan dakwah, menurut pemikiran orang-orang Jawa tergambar dalam cerita Dewa dalam dunia pewayangan. Dewa ini mempunyai arti, bentuk, dan gerak tersendiri.
Arti Dewa adalah para dai. Jelasnya, Dewa itu asalnya dari kata dawaaun—jamak dari kata da’i, artinya para Dewa. Dengan kata lain dawaaun itu jamak atau bilangan banyak (plure), sedang mufrod atau bilangan satunya adalah da’i, artinya satu orang yang dakwah (singular).
Bentuk Dewa ini adalah: memotong kumis, memanjangkan janggut, memakai sepatu, serban, jubah, dan celana blunci (celana panjang di atas kemiri dan di bawah lutut). Oleh karena itu, kalau ada orang yang mengaku dai tetapi kok bentuknya tidak seperti disebutkan: tidak memotong kumis, tidak memanjangkan janggut, tidak memakai serban, jubah, dan celana blunci, menurut pemikiran orang-orang Jawa tersebut, maka bukan dai namanya, tetapi orang umum.
Gerak para Dewa seperti terungkap dalam tembang “Aja Turu Sore Kaki” seperti berikut:

“Aja turu sore kaki, ana Dewa ngangnglang jagat, nyangking bokor kencanane, isine donga tetulak, sandhang klawan pangan, yaiku bageanipun, wong melek sabar narima”

Aja turu sore kaki, artinya jangan tidur sore anak cucu. Ana Dewa nganglang jagat: ada Dewa nganglang jagat, maksudnya ada Dewa atau dai bergerak dari negara satu ke negara lain.
Nyangking bokor kencanane, artinya membawa bokor mas, isine donga tetulak: berisi do’a tolak balak, sandhang klawan pangan: sandang dan pangan. Maksudnya, para Dewa atau dai dalam bergerak dari negara satu ke negara lain tersebut dengan membawa hidayah.
Ya iku bageanipun, artinya (hidayah) itulah jatah yang akan diberikan. Wong melek sabar narima: kepada orang yang suka menahan rasa kantuk, sabar dan qonaah. Maksudnya, hidayah itulah akan diberikan kepada orang yang menahan rasa kantuk karena wirid (dzikir), sabar berjuang menghadapi hidup, dan qonaah—menerima apa adanya pemberian Allah.
Berdasar tembang tersebut, maka gerak dewa adalah nganglang jagat—pindah dari negara satu ke negara lain. Dari Indonesia pindah ke India, dari India pindah ke Pakistan, dari Pakistan pindah ke Bangledes, dan sebagainya. Oleh karena itu, kalau dakwah kok hanya bergerak dalam satu negara saja—tidak nganglang jagat pindah dari negara satu ke negara lain, maka walaupun itu dakwah, tetapi baru dakwah njajah desa milang kori saja dari desa ke desa, dari pintu ke pintu seperti dilakukan satria atau orang umum (orang salih), dan belum dakwah seperti dimaksud sebenarnya.



B. Ajaran yang Didakwahkan Para Wali
Apa saja ajaran yang didakwahkan oleh para Wali? Banyak ajaran yang didakwahkan oleh para Wali, tetapi bagaimanapun banyaknya ajaran yang didakwahkan oleh para Wali tersebut, tidak lepas dari perkara pentingnya iman—amal sholeh, atau pentingnya hlaailaahaillallaah--Muhammadarrasuulullaah. Yang demikian sangat tepat, karena memang sangat banyak Al-Qur’an maupun Al-Hadits yang menekankan tentang pentingnya iman—amal sholeh tersebut.
Pentingnya iman atau hlaailaahaillalaah ini diterangkan dalam Hadits yang mafhum-nya: wahai sekalian manusia ucapkan kalimat lha illaha illallah, niscaya kamu akan mendapatkan kemenangan. Yang lain: barang siapa diakhir hayatnya bisa mengucapkan kalimat hlaailaahaillalaah, dijamin masuk surga.
Pentingnya amal sholeh atau Muhamadarrasuululah, diterangkan dalam Hadits mafhum-nya: barang siapa yang menghidupkan sunnah-ku (ku: Muhammad), berarti cinta aku. Barang siapa yang cinta aku, akan masuk sorga bersamaku. Yang lain: barang siapa yang menghidupkan sunahku di tengah-tengah rusaknya zaman, akan mendapat ganjaran seratus orang mati syahid.
Perkara ajaran agama tentang pentingnya iman—amal sholeh yang didakwahkan oleh para Wali tersebut bisa dilihat dalam berbagai hal.

1. Dalam Dialog Wayang
a. Lole-lole
“Lole-lole samarate emprit gantil buntute omah joglo, dhuk neng dhumpul wana dadi alas alas dadi wana, anjebebeg hawelah-hawelah, andheng-andheng cilik mula yen dicuplak dadi mala, jugreg, jugreg”.

Lole-lole tersebut adalah bahasa yang diucapkan oleh Pendeta Durna setiap kali memulai bicara.
Lole lole adalah kalimat iman—asalnya dari kata hlaailaaha-illallaah, artinya tidak ada Tuhan selain Allah.
Samarate artinya sama rata—diratakan. Maksudnya, agar kalimat iman hlaailahaillallaah itu diratakan atau didakwahkan kepada manusia seluruh alam.
Emprit gantil: burung Gantil: simbolisme dari sebuah berita kematian—seperti dalam keyakinan orang Jawa, apabila ada burung emprit Gantil, alamatnya akan ada kematian (orang mati).
Buntute omah joglo, atau biasa pula diganti dengan buntute bedhug. Buntute omah joglo, omah joglo (rumah joglo)—simbolisme daripada masjid. Sebab, masjid selama ini bentuknya seperti rumah joglo. Karena masjid untuk sholat, maka buntute omah joglo itu simbolime daripada sholat.
Buntute bedhug, bedhug adalah alat untuk menyeru manusia sholat. Karena bedhug alat untuk menyeru manusia sholat, maka buntute bedhug adalah simbolisme daripada sholat.
Dhukneng dhumpul wana dadi alas, alas dadi wana—bahasa dari analogi “kun fayakun” (jadilah !, maka kemudian jadi—apa Allah dikehendaki): dzat Allah yang kuasa menciptakan apa saja: emas jadi batu, batu jadi emas.
Anjebebeg hawelah-hawelah: bahasa analogi dari “masyaa Allah”—sebagai ungkapan rasa heran atas kuasa Allah—dalam hal ini bisa menciptakan sesuatu apa saja yang dikehendaki.
Andheng-andheng cilik mula yen dicuplak dadi mala, jugrek-jugrek: bahasa titik balik dari kebesaran Allah, yakni manusia yang sangat-sangat kecil.
Ajaran yang didakwahkan dalam dialog “lole-lole......” tersebut, adalah agar orang mempunyai iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah, dan menjalankan sholat dengan baik.

b. Lae-lae
“Lae-lae mbegegeg ugeg-ugeg sadulita hmel-hmel”—adalah bahasa dialog Semar—diucapkan setiap kali memulai bicara.
Ajaran yang didakwahkan dalam “lae-lae.....” tersebut agar orang mempunyai iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah, dan menjalankan sholat dengan baik.
Lae-lae adalah kalimat iman—asalnya dari kata-kata hlaailaahaillallaah, artinya tidak ada Tuhan selain Allah.
Mbegegeg-ugeg-ugeg, artinya berhenti—tidak bergerak sama sekali. Maksudnya mohon untuk diberi kekuatan iman yang kuat sekali.
Sadulita, asalnya dari kata ndulit, artinya mengambil sesuatu barang seperti garam, sambal dan lain-lain menggunakan jari telunjuk. Maksudnya menuding—simbolisme daripada sholat. Simbol daripada sholat ini, dalam Semar tidak saja pada dialognya, tetapi juga bentuk jari tangannya—selalu menuding.
Hmel-hmel artinya yang banyak sekali. Jadi, lae-lae mbegegeg ugeg-ugeg sadulita hmel-hmel ini berisi doa atau permohonan kepada Allah agar diberi kekuatan iman—untuk bisa melakukan sholat.
Doa ini sama seperti dalam adzan—ketika diseru untuk sholat hayyalashsholaah (marilah kita sholat), maka jawabnya laa haula walaa quwwata illaa billaahil ’aliyyil ‘adziim (tidak ada kekuatan selain dari Allah)—maksudnya agar diberi kekuatan sholat.
Perlu diketahui, untuk kebanyakan dalang—karena mungkin kurangnya pengetahuan dan amal agama, “lae-lae...” tersebut diartikan lain (diarikan secara material)—tidak seperti di atas (spiritual—agama). Lae-lae, adalah kata seru. mBegegeg artinya diam, ugeg-ugeg: bergerak. Sadulita: sedikit, sedang hme-hmel, artinya makan. Maksudnya, jangan hanya diam, tetapi bergeraklah—kalau kamu mau bergerak, niscaya kamu akan mendapatkan makan walau sedikit.




2. Dalam Sebuah Lagu
a. Lir-ilir
“Lir-ilir lir ilir, tandure wus sumilir, dak ijo royo-royo dak sengguh penganten anyar, cah angon-cah angon penekna blimbing kuwi, lunyu-lunyu penekken kanggo masuh dodotira. Dodotira-dodotira kumitir bedah ing pinggir, dommona jumatana kanggo seba mengko sore mumpung gedhe rembulane mumpung jembar kalangane, ya suraka, surak hiyo”.

Lagu di atas, biasa dilantunkan oleh anak-anak termasuk juga orang dewasa sebagai lagu dolanan.
Ajaran yang didakwahkan dalam Lir-ilir tersebut adalah pentingnya menjalankan sholat dengan baik.
Lir-ilir-lir-ilir, ilir itu artinya kipas. Kipas itu mendatangkan angin. Masyarakat jawa dalam usahanya mencari khabar biasanya dengan istilah ngangin-angin pawarta. Jadi Lir-ilir, itu maksudnya ada khabar—memberi tahu kepada orang atau masyarakat.
Tandure wus sumilir (pohonnya sudah tumbuh), dak ijo royo-royo (sudah hijau tetapi dihijaukan lagi), dak sengguh penganten anyar (saya kira pengantin baru), maksud kalimat itu adalah memberi suasana bahagia yang sedemikian rupa orang atau masyarakat.
Cah angon-cah angon, cah angon (penggembala)—seruan kepada kita semua manusia sebagai penggembala. Kita semua manusia sebagai penggembala, memang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an “kullukum ro’in wa kullukum masulin ‘an ro’iyati: kamu sekalian itu adalah penggembala atau pemimpin, kelak akan dimintai tanggung jawabanmu sebagai penggembala atau pemimpin.
Penekna blimbing kuwi: panjatlah (pohon) blimbing itu, blimbing garis atau gligiran-nya lima—simbolisme sholat lima waktu: Subuh, Dluhur, Asar, Maghrib, dan Isak. Artinya, kita semua disuruh untuk melakukan sholat lima waktu tersebut.
Lunyu-lunyu peneken: walaupun licin tetaplah untuk dipanjat. Maksudnya abot-abot lakonana: berat seperti apapun agar hendaknya sholat itu tetap dilakukan.
Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane: senyampang besar bulannya, senyampang luas putarannya. Maksudnya mumpung kita masih diberi umur panjang; masih diberi hidup.
Ya suraka-surak hore: bersorak-sorailah “hore”. Maksudnya kita semua disuruh untuk bahagia menerima kabar tersebut.
Ajaran yang didakwahkan oleh para Wali dalam “lir-ilir.......” tersebut, adalah pentingnya orang melakukan sholat dengan baik.
Perlu diketahui, bahwa dalam megartikan tembang: “lir-ilir.....” itu tidak selalu demikian (seperti di atas). Ada yang mengartikan bahwa lir-ilir-lir ilir tandure wis sumilir itu: makin subur dan tersiarlah agama Islam yang dibawa oleh para Wali. Tak ijo royo-royo, hijau itu lambang agama Islam, maksudnya agama Islam semakin subur, dan sebagainya. Kemudian untuk cah angon, cah angon penekna blimbing kuwi, blimbing itu bukan simbolisme daripada sholat lima waktu, tetapi simbolisme daripada rukun Islam lima perkara: syahadat, sholat, zakat, puasa dan haji.

b. Macapat
Macapat, adalah sebuah tembang Jawa. Tembang, asalnya dari kata tembung dan kembang—tembung sing diwenehi kembang (kata yang diberi kembang). Kembang, berkonotasi indah. karena tembung atau kata itu diberi kembang, maka tembung atau kata tersebut kemudian menjadi indah. Kecuali indah kata-kata atau kalimatnya, juga indah lagunya.
Tembang, adalah merupakan konsep dakwah para Wali. Artinya dakwah itu hendaknya dilakukan dengan indah; dengan bijaksana tidak kasar, tidak vulgar tidak dengan syariat apa adanya—ini sesuai dengan dasar Al-Qur’an dalam surat An-Nahl, 125 yang menyebutkan “ud’uu ila sabiili robbika bilhikmah.....” bukan “ud’uu ila sabiili robbika bilsyari’at..”
Macapat, adalah sebuah lagu Jawa atau tembang Jawa yang jumlahnya ada 11 macam. Berikut nama dan urutannya: 1. Mijil, 2. Kinanthi, 3. Sinom, 4. Asmarandana, 5. Gambuh, 6. Dandanggula, 7. Pangkur, 8. Durma, 9. Mas Kumambang, 10. Megatruh, dan 11. pocung. Nama dan urutan tembang tersebut mempunyai simbol manusia lahir sampai dengan mati.
Mijil, artinya lahir. Tembang Mijil ini simbolisme daripada manusia lahir. Ia masih menyenangkan belum punya kesalahan, belum punya dosa, hingga setiap orang senang kepadanya.
Kinanti, artinya dikanthi; dituntun: simbolisme daripada anak kecil yang masih harus dituntun atau dididik dengan baik.
Sinom—nom, artinya muda—pemuda. Dalam perjalanannya, setelah anak itu besar, kemudian disebut pemuda.
Asmarandana—asmara, artinya jatuh cinta. Maksudnya setelah anak itu besar (menjadi pemuda), maka pemuda itu akan jatuh cinta kepada lawan jenis.
Gambuh artinya cocok. Maksudnya setelah pemuda itu mempunyai perasaan cinta kepada lawan jenis, maka akan mendapatkan jodoh yang cocok.
Dandang gula—dandang artinya alat untuk menebang kayu, gula, artinya manis. Maksudnya manusia yang sudah mendapatkan jodoh dan berujung sampai pada punya anak itu adalah manusia-manusia dalam usia siap kerja berat untuk mencarikan nafkah—walaupun berat, tetapi tetap senang (manis).
Pangkur—mungkur artinya membelakangi. Maksudnya orang atau manusia setelah sekian lama hidup, dalam perjalanannya kemudian menjadi tua yang senantiasa harus menghindarkan diri dari nafsu-nafsu dunia.
Durma—mundur lima artinya mundur dari lima perkara. Maksud mundur dari lima perkara itu adalah tidak melakukan ma-lima, yakni main (judi), madat (narkoba), madon (main perempuan), maling (mencuri), dan minum (minum-minuman keras).
Mas Kumambang artinya mas terapung (mas itu berat, tetapi kumambang atau terapung). Maksudnya, orang yang sudah tua tinggal menunggu kematian hingga masa-masa itu umurnya seperti emas artinya sangat berharga untuk beribadah kepada Allah.
Megatruh—megat ruh artinya menceraikan nyawa. Megat artinya menceraikan—cerai atau pisah. Ruh artinya nyawa. Pegat ruh artinya pisah nyawa—pisah nyawa dengan badan: mati. Megatruh adalah simbolisme daripada kematian.
Pocung artinya pocong—dipocong—dikafani dengan mori atau kain berwarna putih. Maksudnya, setelah manusia itu mati, maka akan dipocong—dikafani dengan mori atau kain berwarna putih.
Berdasarkan keterangan arti dari tembang macapat tersebut, maka ajaran yang didakwahkan oleh para Wali di dalamnya adalah pentingnya mengingat kematian, selebihnya agar tata-tata sanguning pati, yakni iman—amal sholeh.
Perlu diketahui, bahwa tembang macapat sekarang ini banyak di lantunkan sebagai kegiatan penting oleh masyarakat yang tidak saja beragama Islam, tetapi juga beragama lain. Bahkan tembang macapat pula sering di lantunkan di gereja-gereja, sebagai kidung pujian. Hal ini tentu saja tidak tepat atau bahkan berlawanan. Sebab, tembang macapat itu digunakan untuk mengingatkan kematian orang ]Islam dangan bahasa “pocong” yang karena memang syariatnya orang Islam itu kalau mati di pocong. Kalau orang Nasrani itu syariatnya mati didandani pakai jas hitam, celana hitam, sepatu hitam, dan sebagainya, adakah bisa diingatkan dengan bahasa “pocong” dengan kafan atau mori putih? tentu saja tidak.

d. Kalayung-layung
“Ana tangis, layung-layung, tangising wong wedi mati, gedhongono, kuncenana, wong mati mangsa wurunga”

(Ada suara orang menangis mendayu-dayu, menangisnya orang yang takut mati, walau bagaimanapun masuk gua dan di kunci, mati pasti terjadi).

Lagu di atas, biasa dilantunkan dalam adegan perjalanan satria di tengah hutan. Jelasnya, setelah satria Abimanyu selesai menghadap Abiyasa dengan diberi wejangan sedemikian rupa, satria Abimanyu tersebut kemudian pamit kembali dan atau pergi meneruskan perjalanan ke tempat tujuan dengan melewati sebuah hutan belantara. Perjalanan ke tempat tujuan dengan melewati sebuah hutan belantara inilah Kalayung-layung dilantunkan.
Ajaran yang didakwahkan Para Wali di dalam lagu tersebut adalah agar orang senantiasa ingat mati, selebihnya tata-tata sanguning pati: iman— amal sholeh.

d. Lela Ledhung
“Dak lela-lela-lela ledhung, cup menenga aja pijer nangis, yen nangis ndhak ilang ayune, dadiya satriya utama...”.

Lagu di atas biasa dilantunkan oleh seorang ibu ketika menina- bobokkan anaknya yang sedang rewel atau menangis.
Ajaran yang didakwahkan dalam Lela ledhung tersebut agar kita semua mempunyai iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah.
Dak lela-lela–lela ledhung, lela-lela adalah kalimat iman, asalnya dari kata hlaailaaha illallaah, artinya tidak ada Tuhan selain Allah.
Cup menenga aja pijer nangis, artinya cup diamlah jangan terus menangis.
Yen nangis ndhak ilang ayune, artinya jikalau menangis akan hilang cantiknya.
Dadiya satriya utama, artinya jadilah kesatria utama atau jadilah orang yang baik.
Terkait dengan arti lagu tersebut, konon mengapa Abu Laits Samarkandi penyusun kitab Tanbighul ghafiliin itu bisa menjadi ulama besar, sebab (ketika masih bayi) jika beliau menangis minta tetek (air susu), tidak akan diberi kecuali setelah ibunya selesai membacakan dzikir hlaailaahaillallaah seratus kali, hingga air susu yang diberikan tersebut benar-benar terjaga atas keberkahannya.
Perlu diketahui, untuk sekarang ini walaupun kebanyakan ibu-ibu bisa melantunkan lagu dak lela-lela ledhung, tetapi tidak tahu maksud sebenarnya. Karena tidak tahu maksud sebenarnya, maka ketika menina bobokkan anaknya yang sedang rewel atau menangis itu, ibu-ibu tersebut lebih suka memilih lagu ndhang-dhut, Campur Sari atau yag lain seperti: “Cocak Rawa”, “Mendem Wedokan”, dan sebagainya.

e. Sluku-sluku Bathok
“Sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo, sirama menyang solo, leh-olehe payung montha, mak jenthit lololobah, wong mati ora obah, yen obah medeni bocah, yen urip goleka dhuwit”.

Lagu tersebut biasa dilantukan oleh orang-orang Jawa dalam posisi duduk selonjor sambil kedua tangannya ngelus-elus dhengkul.
Ajaran yang didakwahkan dalam Sluku-sluku Bathok tersebut adalah agar kita semua mempunyai iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah, dan ingat akan kematian—selebihnya tata-tata sanguining pati—iman-amal sholeh.
Sluku sluku bathok, sluku dari kata islah, atau ghuslu. Kalau islah artinya bangunlah, tetapi kalau ghuslu artinya mandilah atau bersihkanlah.
Bathok dari kata batnaka, atau batin. Kalau batnaka artinya hatimu, tetapi kalau batin artinya pikir atau batin itu sendiri.
Laelo asalnya dari kata hlaailaahaillallaah, artinya tidak ada Tuhan selain Allah.
Lengkapnya, sluku-sluku bathok, bathoke ela-elo itu asalnya dari kata atau kalimat islah batinuka bikalimati hlaailahaillallaah. Artinya, bangunlah atau bersihkan hati atau batinmu dengan kalimat hlaailaahaillallaah; bangunlah hati atau batinmu dengan iman kepada Allah. Mengapa kok hati atau batin orang disuruh untuk membangun atau membersihkan dengan iman kepada Allah—hlaailaahaillallaah? karena hati atau batin orang selama ini rusak atau kotor—tidak iman kepada Allah atau tidak hlaailaahaillallaah, tetapi iman kepada selain Allah; iman kepada harta atau dhuwit—“hlaailahailla harta” atau “hlaailaahailla dhuwit”, iman kepada anak istri—“hlaailaahailla anak istri”; iman kepada sawah ladang—“hlaailaahailla sawah ladang”, dan sebagainya.
Si rama menyang solo; Si rama—rama artinya bapak—mewakili semua orang, atau sira, artinya kowe/anda, menyang Solo: pergi ke Solo. Leh olehe payung montha; leh-olehe: dapatnya, payung montha: simbolisme daripada kematian. Maksudnya orang atau anda itu di dunia ini mau ke mana, atau mau apa ta? mau jadi pedagang? jadi petani? guru? atau yang lain? seluruhnya akan berujung pada kematian.
Mak jenthit lololobah, wong mati ora obah, yen obah medeni bocah, yen urip goleka dhuwit¬—memberi suasana kematian yang sebenarnya—namanya orang mati sudah barang tentu tidak akan bergerak, jikalau bergerak akan menakutkan anak.
Perlu disampaikan di sini, bahwa Si rama menyang Solo leh-olehe payung montha dan seterusnya sampai dengan selesai tersebut, ada pula yang memberi keterangan lain. Walaupun keterangan lain tersebut agak sedikit rumit, tetapi perlu kiranya untuk tetap pulka disampaikan di sini agar bisa dicermati oleh halayak pembaca.
Sirama menyang solo, asalnya dari kata: siruma yasluka. Artinya: berwudlu dan kemudian sholatlah.
Leh-olehe payung montha, asalnya dari kata: hlaailaahaillallaahi yaumal mauta. Artinya, hlaailaahaillallaah: tidak ada Tuhan selain Allah. Yaumul mauta: hari kematian. Maksudnya, orang sholat itu akan mendapatkan perlindungan dari Allah, terutama ketika menghadapi kematian.
Mak jenthit lo lo lobah, asalnya dari kata: man dholik muroqobah. Maksudnya, jikalau sholat jangan lupa mak jenthit, maksudnya menuding (bukan mak jenthit sujut).
Wong mati ora obah, asalnya dari kata hayyun wal mauta inna lillaah. Artinya, hidup dan mati itu adalah milik Allah.
Yen obah medeni bocah, asalnya dari kata: mahabatan mahrojuhu taubatan. Artinya Jikalau sholat itu obah, maksudnya banyak gerak (tidak konsentrasi), maka akan mengurangi ganjaran.
Yen urip goleka dhuwit, asalnya dari kata yasrifu inna kholaqnal insaana min maain dhofiq. Artinya: Jikalu sudah selesai sholat, kemudian bekerjalah dengan keyakinan bahwa hidup itu akan lama.
Perlu diketahui, mungkin karena kekurangan dan ketiadaan amal agama, banyak orang yang mengartikan lain, atau bahkan “tidak tahu” secara keseluruhan dari lagu Sluku-sluku Bathok tersebut. Adapun “sluku-sluku bathok......... “ tersebut, diartikan sebagai berikut.
Sluku-sluku bathok, artinya orang yang sedang duduk dengan menjulurkan kaki sambil me-ngelus-elus lutut (slonjor karo ngelus-elus dhhengkul). Bathoke ela-elo: tempurung atau cidhuk siwur (gayung air genthong ) yang bergerak ke kiri dan ke kanan (gela-gelo). Mak jenthit lololobah: bangun dan bergerak. Wong mati ora obah: orang mati tidak bergerak, yen obah medeni bocah: jikalau bergerak menakutkan anak, yen urip goleka dhuwit: jikalau hidup carilah uang. Maksud tersirat dalam lagu tersebut apa? orang tersebut tidak tahu.

F. Lepetan
“Lepetan-lepetan, angudhari anguculi janur kuning nyingseti, nya sega nya sega nya sega kari lawuhe, nya lawuh nya lawuh nya lawuh kari wadhae”.

Lagu Lepetan tersebut biasanya dilantunkan oleh anak-anak ketika bermain-main bersama.
Lepetan, artinya sebuah permaian lepet atau kupat. Maksudnya, kupat itu bentuknya segi empat—simbolisme dari pemahaman agama secara arif atau makrifat—diawali dari syariat, tarikat, hakikat, baru kemudian makrifat.
Angudhari-anguculi Janur kuning nyingseti, artinya menguraikan dan melepaskan janur kuning menguatkan. Maksudnya untuk mendapatkan pemahaman agama secara arif atau makrifat itu tidaklah mudah, karena agama secara arif atau makrifat itu terbungkus oleh ilmu yang demikian sulitnya—tidak mudah dipahami.
Nya sega nya sega nya sega kari lawuhe, nya lawuh nya lawuh nya lawuh kari wadhahe, artinya ini nasi-ini nasi-ini nasi tinggal lauknya, ini lauk-ini lauk-ini lauk tinggal nampannya. Maksudnya oleh karena sulitnya memahami agama secara arif atau makrifat itu, maka lebih baik taklid, atau nurut saja apa yang di perintahkan.
Ajaran yang didakwahkan dalam Lepetan tersebut, agar kita taat kepada Allah dengan menjalankan apapun yang diperintahkan, walau tidak mengetahui apa maksud di balik perintah tersebut. Oleh karena itu, dalam tradisi Jawa siapa pun yang tidak bisa membuat kupat (ketika hendak makan) tidak melepas atau mengurai, tetapi membelah saja dengan pisau seperti tembang Durma cangkriman “paman-paman” yang bermakna kupat berikut.
“Paman-paman apa wartane ing ndalan, ing ndalan akeh wong mati, dipun kaniaya, pinedhang liganira, jaja trus ing gigir, akari raga, badan kari ngalinthing”

(paman-paman apa kabarnya di jalan, di jalan banyak orang mati- dianiaya-ditusuk dengan pedang dadanya sampai tembus belakang, badan mati terkoyak),

Maksudnya, agar siapapun yang tidak bisa menguraikan atau mentafsir agama dengan baik, hendaknya taat atau taklid saja terhadap apa yang diperintahkan (jadi, taklid itu walaupun dilarang, tetapi dalam keadaan tertentu justru diperintahkan).

3. Dalam Sebuah Prosesi Tradisi Bulan Romadlon
Ajaran yang didakwahkan dalam prosesi tradisi bulan Romadlon, adalah agar kita menjalankan puasa dengan sempurna, sehingga dosanya benar-benar diampuni—menjadi suci kembali seperti bayi yang baru lahir.
Adapun prosesi tradisi dalam bulan Romadlon tersebut adalah sebagai berikut: 1. melantunkan lagu “E Dhayohe Teka”, 2. Megengan, 3. Ujung, dan 4. Bada Kupat.

a. Melantunkan Lagu E Dhayohe Teka
“E Dhayohe teka, e jerengna klasa, e klasane bedhah, e tambalen jadah, e jadahe mambu, e pakakna asu, e asune mati, e guwaken kali, e kaline banjir, e guwaken pinggir”.

Melantunkan lagu E dhahayohe teka, sama artinya memberi tarhib atau semangat kepada umat Islam agar besuk di bulan Romadlon melakukan puasa dengan baik. Oleh karena itu, melantunkan lagu tersebut adalah di bulan Ruwah atau Sa’ban sekaligus menyambut datangnya bulan Romadlon.
E dhayohe teka, artinya e tamunya datang. Tamu yang dimaksud adalah bulan Romadlon.
E jerengna klasa, artinya e bentangkan tikar. Maksudnya, agar kita semua senantiasa mau menerima kedatangan bulan Romadlon tersebut dengan hati yang lapang.
E klasane bedhah, artinya e tikarnya rusak. Maksudnya, agar datangnya bulan Romadlon tersebut jangan sampai tidak diterima dengan hati yang lapang.
Lalu bagaimana caranya menerima tamu bulan Romadlon dengan hati yang lapang itu? (caranya adalah:)
E tambalen jadah, artinya e tamballah dengan jadah. Maksudnya adalah dengan memperbanyak sholat (jadah, asalnya dari kata sajadah—simbolisme sholat).
E jadahe mambu: e jadahnya basi, e pakakna asu: e berikan anjing, e asune mati: e anjingnya mati, e guwaken kali: e buang ke sungai, e kaline banjir: e sungainya banjir, e guwaken pinggir: e buang di pinggir. Maksudnya, sholatnya di Bulan Romadlon itu jangan sampai rusak. Sholat-sholat yang rusak di bulan Romadlon seperti itu, agar dibuang atau dihindari sejauh-jauhnya.
Perlu diketahui, untuk sekarang ini walaupun kebanyakan orang bisa melantunkan lagu “E dhayohe teka” tersebut, tetapi tidak tahu arti atau maksud sebenarnya. Karena tidak tahu arti atau maksud sebenarnya, maka sering-sering lagu tersebut dugunakan untuk dolanan (main-main) seperti kebanyakan dalang ketika dilarang menampilkan adegan gara-gara ketika menampilkan Gara-gara dalam sajian wayangnya seperti dialog berikut:

Petruk : “ Gong, kowe isa ‘pa nembang lagu “Edhayohe Teka”
gentenan karo aku...”

Bagong : “Isa wae wong aku kok”

Petruk : “Bagus, ayo coba. “E dhayohe teka”.

Bagong : “E tambalen jadah”.

Petruk : “Ora ngono Gong, dhayoh teka kok kon nambal jadah. Sing bener ‘ki
kowe terus njawab: “e jerengna klasa, ngono. Aku: e klasane bedhah.
Kowe: e tambalen jadah. Aku: e jadahe mambu. Kowe: e pakakna
asu..”

Bagong : “O.. ngono ta, ya, yuk”.

Petruk : “Yo. “E dhayohe teka”,

Bagong : “E pakakna asu...”.

Petruk : “O bubrah Gong”.

Arti atau dalam bahasa Indonesianya:
Petruk : “ Gong, bisakah kamu menyanyikan lagu “Edhayohe
Teka” gantian dengan aku?”

Bagong : “Bisa saja aku kok”

Petruk : “Bagus, ayo coba. “e dhayohe teka” (e tamunya datang).

Bagong : “E tambalen jadah”. (e tamballah dengan jadah—makanan
terbuat dari ketan).

Petruk : “Tidak begitu Gong, tamu datang kok disuruh nambal dengan
jadah. Yang benar kamu itu terus menjawab: “e jerengna klasa,
ngono (e bentangkan tikar). Aku: e klasane bedhah (e tikarnya
robek). Kamu: e tambalen jadah. Aku: e jadahe mambu (e jadahnya
basi). Kamu: e pakakna asu (berikan anjing).”

Bagong : “O.. gitu ta, ya, yuk”.

Petruk : “Yo. “E dhayohe teka”,

Bagong : “E pakakna asu...”.

Petruk : “O rusak Gong”.

b. Megengan
Sehari sebelum bulan Romadlon tiba, biasanya ada tradisi Megengan atau padusan terlebih dulu. Megengan asalnya dari kata megeng, atau megung—air yang banyak atau berlimpah di sebuah sungai atau kedung. Sedang Padusan adalah tempat orang adus atau mandi—salnya dari kata adus, artinya mandi.
Bentuk tradisi Megengan atau Padusan tersebut, semua orang melakukan mandi keramas di padusan seperti kedung, sungai, sumur atau yang lain.
Ajaran yang didakwahkan dalam tradisi Megengan tersebut, agar orang semua benar-benar mensucikan hati terlebih dulu dalam menyambut kedatangan bulan Romadlon yang sebentar lagi akan datang, sehingga dalam menjalankan puasa benar-benar bisa khusuk.
Perlu diketahui, kebanyakan orang untuk sekarang ini yang mungkin kurang atau ketiadaan amal agama, sudah tidak tahu lagi maksud Megengan sebenarnya. Karena tidak tahu maksud Megengan sebenarnya, maka kebanyakan orang tersebut melakukan dengan cara yang tidak benar—ihtilat laki-laki perempuan mandi bersama di sebuah kolam renang, sungai atau yang lain.

c. Ujung
Setelah bulan Romadlon selesai, berarti selesai pula umat Islam menjalankan puasa. Selesainya umat Islam menjalankan puasa, kemudian sholat ‘Idul Fitri bersama di masjid atau di lapangan. Setelah selesai sholat ‘Idul Fitri bersama di masjid atau di lapangan, kemudian melakukan tradisi Ujung atau biasa pula disebut dengan istilah Sungkeman.
Tradisi Ujung, ujung adalah jari - jari tangan bagian atas. Bentuk daripada tradisi ujung ini, umat Islam melakukan kegiatan saling bersalam-salaman—bermaaf-maafan keliling dari rumah ke rumah, dari pintu ke pintu, dengan serta merta hidmat atau suguhan yang disediakan oleh tuan rumah mulai dari makanan kecil, minuman, sampai dengan makanan besar (nasi).
Ajaran yang didakwahkan dalam tradisi Ujung tersebut agar orang semua mau menjalin silaturrahim atau persaudaraan dan saling maaf-memaafkan kesalahan sesama manusia khususnya umat Islam.
Perlu diketahui, untuk sekarang ini tradisi Ujung mulai berubah dari kebiasaan. Kalau dulu kebiasaannya keliling dari rumah-ke rumah—dari pintu ke pintu dengan berbagai perhidmatan atau suguhan-nya, sekarang cukup di lakukan di masjid—tidak harus keliling dari rumah ke rumah—dari pintu-ke pintu, hingga perhidmatan-nya pun berkurang atau tidak banyak dilakukan.

d. Bada Kupat
Prosesi bulan Romadlon paling akhir adalah Bada Kupat—dilakukan lima hari setelah hari Raya Idul Fitri.
Bada Kupat. Bada, asalnya dari kata ba’da, artinya setelah— setelah itu selesai—selesai menjalankan puasa Romadlon. Setelah selesai menjalankan puasa Romadlon, kemudian (langsung) bada—Bada Syawal atau hari raya “idul Fitri. Setelah hari raya Idul Fitri, (lima hari) kemudian bada kupat atau hari raya Kupat.
Ajaran yang didakwahkan dalam Bada Kupat tersebut agar orang mau silaturrahim menjalin tali persaudaraan dan saling maaf-memaafkan terhadap kesalahan sesama umat Islam
Bada Kupat walaupun tidak ada tuntunan dalam agama Islam, tetapi oleh masyarakat Islam Jawa dijalankan sebagai syi’ar agama.
Bentuk daripada kegiatan Bada Kupat atau hari raya kupat ini adalah saling kirim kupat dan lepet. Kupat untuk orang muda kepada yang lebih tua, sedang lepet dari orang tua kepada yang lebih muda.
Perlu diketahui, walaupun Bada Kupat sebenarnya itu baru akan dilakukan lima hari kemudian setelah Idul fitri, tetapi pada hari raya Idul fitri sendiri sudah ada suasana. Sebab, kebanyakan ibu-ibu sudah membuat kupat sebagai sarapannya.
Kupat adalah makanan dari beras nasi yang dibungkus dengan anyaman janur kuning, kemudian diolah dengan api sampai masak.
Lepet adalah makanan dari beras ketan yang dibungkus dengan anyaman janur kuning, kemudian diolah dengan api sampai masak.
Kupat, adalah jarwa dhosok (arti yang dipaksakan) daripada aku lepat (saya salah), sedang lepet, bahasa krama dari kupat. Saling kirim kupat dan atau lepet, maksudnya saling kirim atau menghaturkan kesalahan—saling maaf memaafkan.
Kupat, sebagaimana bisa dilihat bentuknya segi empat. Karena bentuknya segi empat, maka kupat tersebut juga berarti laku papat (amalan empat). Amalan empat itu adalah: 1. lebar, 2. labur, 3. luber, 4. lebur.
Lebar, artinya selesai. Selesai, maksudnya umat Islam harus menyelesaikan puasa selama duapuluh delapan hari, atau duapuluh sembilan hari, atau tiga puluh hari sesuai dengan jumlah hari bulan Romadlon urut mulai hari pertama sampai dengan hari terakhir.
Labur—cat dinding berwarna putih—simbulisme kesucian. Maksudnya, umat Islam agar tidak hanya asal menyelesaikan puasa, tetapi juga harus melakukan amalan-amalan yang bisa menghantarkan diri sampai pada tingkat kesucian seperti sholat tarawih, tadarus Al-Qur’an, i’tikaf, dan sebagainya.
Luber artinya meluap. Maksudnya setelah selesai bulan puasa, benar-benar umat Islam menjadi orang yang suci kembali secara sempurna. Agar bisa menjadi suci kembali secara sempurna, maka hendaknya saling luber—maaf-memaafkan antara satu dengan lainnya.
Lebur artinya hancur. Maksudnya hendaknya umat Islam dalam saling maaf-memaafkan antara satu dengan lainnya tersebut, dibarengi dengan rasa ihlas, hingga benar-benar dosanya diampuni sampai pada tingkatan sempurna, bersih seperti bayi yang baru lahir—tidak punya dosa.

4. Dalam Sebuah Penyajian Wayang
Orang melihat wayang, akan mendapatkan unsur di dalamnya, antara lain: pelaku (dalang), perabot, gending, dan penyajian.
Dalang, adalah orang yang memainkan wayang. Dalang asalnya dari kata dalla (bahasa Arab) artinya petunjuk. Konon dalam bahasa Minang dalang artinya gila. Dalam bahasa Jawa jarwa dhodok dari kata ngudhal piwulang, ngudhal-udhal piwulang, dan kadhal karo walang.
Mana pengertian dalang di atas yang benar? tertantung kesungguhannya dalang dalam menyajikan wayang. Kalau dalang dalam menyajikan wayang itu sungguh-sungguh, maksudnya untuk memberi petunjuk (dakwah) seperti Widiyaka (sunan Kalijaga) dulu, maka pengertian yang benar adalalah dalla—orang yang memberi petunjuk, atau orang yang ngudhal piwulang. Tetapi kalau dalam menyajikan wayang itu hanya untuk mencari uang, maka pengertian yang benar adalah ngudhal-udhal piwulang (merusak ajaran), kadhal karo walang—yen mati ora di pendhem (kadal dan belalang jika mati tak dikubur), dan gila, karena omong sendiri—tanya sendiri di jawab sendiri. Hal ini perlu disampaikan, sebab wacana dalang yang berjalan di tengah-tengah masyarakat selama ini memang demikian (bergerak dari dalang dalam pengertian positif sampai dalang dalam pengertian negatif seperti disebutkan).
Dalang dalam penyajian wayang berfungsi sebagai pengendali dan penguasa agung terhadap seluruh permainan wayang—menentukan setting panggung, penataan gamelan, cerita wayang, operasional penyajian, menghidupkan dan mematikan wayang, menentukan menang dan kalahnya wayang, ringkas bicara sangat menakjubkan, dalang adalah sanepa dari Tuhan penguasa alam dan kehidupan.
Perabot, di antaranya ada: wayang, gamelan, kothak, debog, kelir, blencong, dan sebagainya. Wayang, gamelan, kotak, debog, kelir, blencong, dan sebagainya tersebut mempunyai simbolisme sendiri-sendiri.
Wayang sebagai simbolisme manusia—ditata menyebelah kanan dan kiri saling bertolak belakang. Artinya, manusia itu senantiasa ada yang baik ada yang buruk.
Gamemelan ditabuh dengan suara nang-ning-nong (untuk suara kenong dan saron), artinya ndunung-ndunungke kebecikan: menunjukkan kebaikan: nang kana, ning kene, nong kana (di sana, di sini): ndang tak-ndang tak dheng (suara kendang), artiya cepat-cepatlah ke mesjid di sana masih sedheng (masih muat).
Kothak tempat asal dan kembalinya wayang—manusia asalnya dari tiada, kembali ke tiada lagi; manusia asalanya dari tanah, kembalinya ke tanah; atau manusia asalnya dari Allah, kembali kepada Allah.
Debog, kelir dan blencong sebagai bumi, langit dan matahari. Debog sebagai bumi tempat berpijak manusia, kelir sebagai langit untuk dijunjung, dan blencong sebagai matahari untuk penerangan.
Sebelum mulai wayang, di sajikan gending talu terlebih dulu. Gending talu adalah gending yang disajikan sebelum wayang dimulai.
Adapun gending talu diawali dari Cucur Bawuk, kemudian Pareanom dan diakhiri dengan Sukma Ilang. Gending talu itu sebagai simbol dari manusia lahir sampai dengan mati.
Cucur Bawuk, cucur artinya keluar, bawuk artinya alat kelamin perempuan. Cucur bawuk adalah simbolisme daripada manusia lahir.
Pareanom, pare—jenis buah sayuran, anom artinya muda. Pare anom—anom (muda), adalah simbolisme daripada anak muda.
Sukma Ilang, sukma artinya ruh, ilang artinya hilang. Sukma ilang adalah simbolisme daripada manusia mati.
Setelah gending talu kemudian penyajian wayang—dimulai dari nglorot kayon. Setelah itu berturut-turut kemudian, Jejer kerajaan Jaranan, Perang Gagal, Gara-gara, Kapanditan, Perang Kembang, Perang Amuk-amukan, Tayungan, terkhir adalah Golekan.
Nglorot kayon, sebagai pertanda dimulainya kehidupan. Kayon asalnya dari kata hayat (bahasa Arab) artinya hidup.
Jejer kerajaan, adalah sebagai simbolisme manusia lahir—masih menyenangkan dan belum punya dosa. Sebagai simbolisme manusia lahir—masih menyenangkan dan belum punya dosa tersebut, maka Jejer kerajaan suasananya agung dan tidak atau belum ada masalah atau konflik; semua yang datang hatinya senang.
Jaranan, simbolisme anak remaja yang banyak di kendalikan oleh hawa nafsu. Sebagai sibolisme anak remaja yang banyak dikendalikan oleh hawa nafsu, adegan jaranan menampilkan prajurit naik kuda dengan serta merta pengendaliannya (kuda simbol hawa nafsu).
Perang Gagal, simbolisme anak remaja yang masih gagal dalam mengendalikan hawa nafsu. Sebagai simbolisme anak remaja yang masih gagal dalam pengendalikan hawa nafsunya, adegan Perang Gagal ini menampilkan kekalahan Pandawa perang melawan Kurawa.
Kapanditan, adalah simbolisme anak muda yang haus akan ajaran agama untuk senjata dalam mengarungi kehidupan. Sebagai simbolisme anak muda yang haus akan ajaran agama untuk senjata dalam mengarungi kehidupan, adegan ini menampilkan wejangan pendeta kepada Abimanyu.
Perang Kembang, adalah simbolisme daripada pemuda yang mulai mampu melawan hawa nafsu. Sebagai simbolisme daripada pemuda yang mulai mampu melawan hawa nafsu, adegan ini menampilkan perang antara satria Abimanyu melawan raksasa buta Cakil dan buta Begal yang dimenangkan oleh Abimanyu.
Perang Amuk-amukan, simbolisme dari usia manusia yang sudah mampu atau berhasil mengalahkan hawa nafsu. Sebagai simbolisme dari usia manusia menghadapi puncak masalah, Perang Amuk-amukan ini menampilkan kemenangan perang puncak Pandawa melawan Kurawa.
Tayungan, adalah simbolisme dari kemenangan manusia melawan kejahatan. Sebagai simbolisme kemenangan manusia melawan kejahatan, adegan ini menampilkan Werkudara menari.
Golekan adalah sebuah adegan wayang golek menari di akhir sajian—simbolisme dari perintah dan atau ajakan dalang kepada penonton untuk nggoleki liding dongeng (mencari inti cerita) — sing apik nggonen !, sing ala guwangen ! (yang baik amalkan !, yang jelek tinggalkan !).
Dengan penyajian wayang sebagaimana diuraikan di atas, maka ajaran yang didakwahkan oleh para Wali tersebut adalah: tentang pentingnya mengingat kematian, selebihnya agar tata tata-tata sanguning pati, yakni iman—amal sholeh.
Perlu diketahui, untuk sekarang ini khusus Golekan walaupun setiap dalang tahu arti maksud dan tujuannya, tetapi karena tidak konteks dengan maksud dan tujuan dalang sendiri sebenarnya—untuk mencari uang, maka sering-sering Golekan tersebut tidak ditampilkan.

5. Dalam Sebuah Cerita Wayang
a. Pandawa
Pandawa adalah tokoh lima bersaudara dalam sebuah cerita wayang. Tokoh lima bersaudara tersebut, 1. Puntadewa, 2. Werkudara, 3. Arjuna, 4. Nakula, dan 5. Sadewa.
Tokoh lima bersaudara tersebut merupakan simbolisme rukun Islam yang lima: 1. syahadat, 2. sholat, 3. pasa, 4. zakat, dan 5. haji (urutan rukun Islam tersebut mestinya (pada umumnya) 1. syahadat, 2. sholat, 3. zakat, 4. pasa, 5. haji. Tetapi agar sesuai dengan urutan pandawa, maka rukun Islam dibuat seperti itu).
Puntadewa adalah simbolisme daripada rukun Islam pertama, yakni syahadat. Sebagai simbolisme rukun Islam pertama (syahadat), Puntadewa mempunyai senjata Jamus Kalimasada. Jamus Kalimasada, asalnya dari kata jimat kalimat syahadat. Jimat, artinya barang siji sing kudu dirumat. Kalimasada, asalnya dari kata kalimat syahadat. Jadi, barang siji sing kudu dirumat (barang satu yang harus dijaga) tersebut adalah syahadat—hlaailaahaillaallaah, artinya iman yang benar kepada Allah.
Karena Puntadewa mempunyai senjata Jamus kalimasada, artinya mempunyai iman yang benar kepada Allah, maka tawakalnya sangat-sangat tinggi—jangankan harta, walau diri dan istrinya sekalipun jika diminta oleh orang lain pasti diberikan. Oleh karena itu, dalam ceritanya Puntadewa mempunyai sifat lega ing banda lila ing pati (rela harta dan diri), hingga diberi nama Anjatasatru, artinya tidak punya musuh. Mengapa harus dimusuhi, kalau orang sudah memberikan harta, diri, dan istrinya?. Adakah tega memusuhi orang yang sudah merelakan harta, diri, dan istrinya?
Werkudara adalah simbolisme dari rukun Islam ke dua, yakni Sholat. Werkudara itu sebenarnya orang berilmu, karena asalnya dari kata waroqun dan daarun. Waroqun: kertas, daarun: rumah. Waroqun daarun: rumah kertas, maksudnya tempat ilmu (pandai). Walaupun Werkudara seorang yang berilmu, tetapi cenderung diam. Cenderung diam, karena tawadluk (tidak sombong). Oleh karena itulah maka dikatakan bahwa Werkudara itu sifatnya pintere den alingi, bodhone dinekek ngarep (pandainnya ditutupi, bodohnya dibukak)
Sebagai simbolisme rukun Islam yang ke dua (sholat), Werkudara asalnya juga dari kata waroa dan daarun. Waroa: artinya belakang, daarun: rumah (sama seperti di atas). Maksudnya, Werkudara adalah orang yang mengutamakan rumah belakang (kampung akhirat), yakni sholat. Oleh karena itulah maka Werkudara disebut sebagai orang yang kanggonan kuku Pancakenaka, dadi panegaking pandawa, ngadeg ora bisa lungguh, omong ora bisa basa.
Kanggonan kuku Pancakenaka, artinya mempunyai kuku Panca Kenaka—kuku: kukuh—artinya berpegang erat. Panca: lima, kenaka: kuku. Kuku Panca Kenaka adalah simbolisme daripada sholat. Maksudnya, Werkudara itu adalah orang yang berpegangan teguh terhadap sholat lima waktu; melakukan sholat lima waktu dengan baik disiplin, atau istilahnya dengan khusuk dan khudlu’. Khusuk: Konsentrasi—seakan-akan melihat, atau dilihat Allah langsung. Khudluk: tertiab—sholatnya diawal waktu, dengan berjamaah dan di masjid.
Dadi panegakking Pandawa (menjadi penegak Pandawa)—panegak: tegak—simbolisme dari sholat yang harus ditegakkan, seperti dikatakan dalam Hadits “ashsholaatu ‘imaaduddiin”: sholat itu tiang agama (tiyang, harus ditegakkan).
Ngadeg ora bisa lungguh (berdiri tidak bisa duduk)—simbolisme sholat yang harus didirikan, seperti banyak dikatakan dalam Al-Qur’an misalnya aqiimishsholaat (dirikanlah sholat).
Omomg ora bisa basa (bicara tidak bisa lembut)—simbolisme dari bahasa sholat yang tidak boleh diubah dengan bahasa apa pun, misalnya bahasa takbirotul ikrom dalam sholat adalah “Allaahuakbar”—tidak boleh di ubah dengan bahasa Indonesia menjadi “Allah Maha besar” atau diubah dengan bahasa Jawa menjadi “Gusti Allah Maha Agung”, dan sebagainya.
Arjuna atau Janaka, adalah simbolisme daripada rukun Islam ke tiga, yakni puasa. Sebagai simbolisme rukun Islam ke tiga (puasa), Arjuna mempunyai arti dan keahlian perilaku tersendiri.
Arti Arjuna, adalah saya berharap—asalnya dari kata arju (Bahasa Arab). Sedang Janaka, artinya surga-Mu—Allah—asalnya dari kata janataka. Jadi, Arjuna—Janaka, artinya (doa) “saya berharap surga-Mu yaa Allah”— asalnya dari arju janataka.
Keahlian perilaku Arjuna atau Janaka adalah tapa brata—masuh budi, artinya lapar dan menahan nafsu—diujudkan dengan seringnya semadi disebuah hutan dan seringnya berperang melawan buta Cakil dan buta Begal.
Nakula dan Sadewa masing-masing sebagai simbolisme rukun Islam ke empat dan ke lima yakni zakat dan haji. Karena zakat dan haji itu tidak diwajibkan kepada semua orang kecuali yang mampu, maka sebagai simbolisme zakat dan haji tersebut, Nakula dan Sadewa tidak pernah tampil menjadi tokoh utama.
Oleh karena demikian cerita Pandawa tersebut, maka ajaran yang didakwahkan para Wali di dalamnya adalah pertama pentingnya orang mempunyai iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah, kedua pentingnya melakukan sholat, ketiga pentingnya melakukan puasa, keempat pentingnya membayar zakat, dan kelima pentingnya ibadah haji.
Perlu diketahui, untuk sekarang ini mungkin karena sering-seringnya banyak tidak menjalankan agama Islam dengan baik,, maka arti Pandawa seperti disebutkan di atas tidak pernah diuraikan. Atau diuraikan, tetapi dalam arti umum—jauh dari arti agama: syahadat, sholat, dan sebagainya seperti diatas.

b. Panakawan
Panakawan, adalah tokoh ayah dan anak-anaknya, yakni Semar (ayah) dan Nala Gareng, Petruk, Bagong (anak-anaknya).
Panakawan, dalam bahasa Jawa pana berarti awas, kawan: kanca. Panakawan berarti seorang yang memberi perhatian besar terhadap temannya, yakni satria sebagai tuan atau bendara-nya.
Semar, asalnya dari kata samirun (bahasa Arab) artinya: bersegeralah (mulat cancut acincing). Nala Gareng, asalnya dari kata ngala khoiri. Ngala artinya atas, khoira: baik—kebaikan. Ngala khairi artinya atas kebaikan. Petruk asalnya dari kata fat-ruk artinya tingggalkan. Bagong asalnya dari kata baghaa, artinya kejahatan atau lacut (bahasa jawa).
Empat nama dari panakawan tersebut, jika di rangkai bunyinya: samirun ngalal khoiri, fatrukil baghaa. Artinya, bersegeralah atas kebaikan, tinggalkan perkara-perkara yang lacut (kejahatan).
Samirun ngalal khoiri atau bersegeralah atas kebaikan, maksudnya bersegeralah atas kebaikan, seperti kebaikan yang digambarkan dalam tubuh Nala Gareng: mata juling, tidak melihat barang-barang terlarang seperti aurot wanita, dan kemewahan yang menjadikan hati ingin memiliki, dan sebagainya. Tangan ceko, tidak mencuri, atau mengambil barang orang lain tanpa izin. Kaki jinjit, senantiasa berhati-hati dalam melakukan tindakan.
Tinggalkan perkara-perkara yang lacut (kejahatan), artinya tinggalkan perkara-perkara yang tidak berguna, seperti: bicara masalah dunia bukan pada tempatnya, bicara sia-sia, mengumpat, dan sebagainya.
Perlu diketahui bahwa ada yang mengartikan panakawan tersebut tidak seperti di atas: Semar asalnya dari kata simaar (bahas Arab), artinya paku—agama Islam senantiasa kokoh kuat seperti paku yang menancap di sebuah dinding.
Nala Gareng dari kata: naala qariin, artinya: memperoleh banyak kawan—memang demikian maksud dakwah adalah mencari kawan.
Petruk asalnya dari kata fat-ruk atau fitroh. Fatruk artinya tinggalkanlah—diambil dari kalimat fat-ruk kullu man siiwallaahi: tinggalkanlah segala apa-apa selain Allah. Fitroh artinya suci—iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah. Sebagai simbolisme orang yang fitroh atau iman kepada Allah, Petruk diberi nama Kanthong Bolong. Kanthong artinya saku, bolong: terus: saku yang terus—tidak bisa digunakan untuk menyimpan uang. Maksudnya, Petruk tidak pernah menyimpan atau menumpuk-numpuk uang—dalam saku. Oleh karena itu, sebagai simbolismenya.
Bagong asalnya dari kata baghaa, artinya lacut dan berontak, artinya memberontak seluruh yang lacut atau memberontak seluruh kejahatan.
Seperti tersirat dalam uraian di atas, bahwa yang menjadi simbol ajaran kebaikan dalam panakawan tersebut, tidak hanya namanya saja seperti Semar—samirun, Nala Gareng—ngalal khaira, dan sebagainya, tetapi juga bentuknya, terutama Nala Gareng seperti di sebutkan mata juling: tidak melihat barang terlarang, tangan ceko tidak mencuri dan sebagainya.
Selanjutnya perlu juga disampaikan disini tentang simbolisme bentuk Semar. Bentuk Semar adalah bundar, kuncung ke atas, dan tangan menuding. Bentuk Semar bundar, bermakna pengabdian Semar kepada dzat yang huwal awwalu huwal akhiru: dzat yang tiada awal dan akhir, yakni Allah. Kuncung ke atas, artinya segala perilaku Semar hanya semata-mata untuk yang di atas (Allah). Tangan menuding: Semar senantiasa menunjukkan kepada kebaikan dan sholat.
Simbolisme yang lain juga, panakawan jumlahnya empat—artinya empat dasar agama Islam yang harus ditegakkan, yakni Qur’an, Hadits, Ijmak dan Qiyas.
Qur’an adalah firman Allah, Hadits—sabda Rasulullah. Ijmak adalah kesepakatan ulamak—seperti zakat profesi misalnya, dua setengah persen. Sedang Qiyas adalah analogi atau menyamakan sesuatu dengan hukum yang sudah ada—seperti ganja, dan pil ekstasi misalnya, sama dengan khamr (haram).
Makna dari simbolisme itu, siapapun yang hidup dengan empat dasar agama tersebut akan senantiasa mendapatkan kemenangan. Oleh karena itu, dalam cerita pewayangan siapa pun satria yang diikuti oleh empat panakawan: Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong tersebut selalu mendapatkan kemenangan—Janaka diikuti oleh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, janaka menang. Abimanyu dikuti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, Abimanyu juga menang, dan sebagainya.

c. Kendhalisada
Kendhalisada, adalah sebuah pertapan di mana Anoman—seorang manusia kera berbulu putih tinggal.
Kendhalisada, asalnya dari kata kendhali dan sada. Kendhali adalah alat untuk mengendalikan sesuatu, misalnya kendali kuda: alat untuk mengendalikan kuda, kendali peluru: alat untuk mengendalikan peluru, dan sebagainya. Sada, asalnya dari kata syahadat, artinya kesaksian—iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah. Kendhalisada, artinya adalah alat untuk mengendalikan sesuatu—hidup. Jelasnya iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah itu alat untuk mengendalikan segala sesuatu—permasalahan hidup.
Kalau dikatakan bahwa Kendhalisada itu adalah suatu tempat di mana Anoman tinggal, berarti Anoman itu adalah orang yang memiliki Kendhalisada. Anoman sebagai orang yang memiliki Kendalisada, maknanya Anoman itu adalah orang yang mempunyai iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah. Karena Anoman mempunyai iman yang benar kepada Allah—hlaailahaillallaah, maka kulit atau bulunya putih—simbolisme dari kesucian.
Oleh karena demikian cerita kendhalisada tersebut, maka ajaran yang didakwahkan para Wali di dalamnya adalah pentingnya orang mempunyai iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah.

d. Jamus Kalimasada
Jamus Kalimasada, adalah senjata Puntadewa (seperti telah diterangkan dalam “Pandawa”). Tentang Jamus Kalimasada ini, siapa pun yang kanggonan (ketempatan), atau yangmempunyai, maka akan mendapatkan kejayaan—seperti diuraikan sebagai berikut.
Ketika Mustakaweni hendak membunuh Pandawa, diberi tahu oleh saudara-saudaranya “tidak mungkin, kecuali bisa mencuri pusaka Jamus Kalimasada”. Atas pemberitahuan itu, Mustakaweni kemudian mencurinya dan berhasil—sekarang Jamus Kalimasada ada di tangannya—karena itu Mustakaweni menjadi sakti dan kemudian menyerang Pandawa, hingga Pandawa kalah.
Atas kekalahannya itu, Pandawa kemudian minta bantuan orang lain—Priyembada untuk mengambilkan kembali jamus Kalimasada miliknya. Priyembada bersedia, tetapi dengan syarat agar Pandawa bersedia menerima diri sebagai keluarganya. Setelah Pandawa bersedia. Atas kesediaan itu Priyembada kemudian segera berusaha mengambil Jamus Kalimasada dari tangan Mustakaweni dan berhasil. Agar tidak diketahui oleh Mustakaweni, Jamus Kalimasada kemudian dititipkan Petruk, hingga Petruk menjadi sakti karenanya—kemudian menaklukkan Raja Jayasetika dari Negeri Kerincing Kencana dan mengambil alih raja berganti nama Wel Geduwelbeh.
Ajaran yang didakwahkan dalam cerita wayang tersebut, agar setiap orang mempunyai iman yang benar kepada Allah — lha illaha illallah, karena iman
yang benar kepada Allah itu akan membawa kejayaan—gambarannya seperti tokoh-tokoh wayang tersebut: Pandawa membawa Jamus Kalimasada, Pandawa Berjaya (sakti). Mustakaweni membawa Jamus Kalimasada, Mustakaweni berjaya. Bahkan Petruk yang miskin sekalipun, karena membawa jamus Kalimasada, maka Petruk pun berjaya.
Perlu diketahui, mungkin karena kurangnya amal agama kebanyakan orang sekarang termasuk dalang, maka sulit atau tidak bisa menerima maksud sebenarnya dari lakon Jamus Kalimasada tersebut. Karena sulit atau tidak bisa menerima maksud sebenarnya dari lakon Jamus Kalimasada tersebut, maka diterima begitu saja apa adanya—hingga Jamus Kalimasada (barangnya) itu yang dikultuskan, bukannya hakikatnya (Tuhan) yang ada di balik Jamus Kalimasada itu yang dikultuskan.

6. Dalam Sebuah Cerita Mitos
a. Bathok Bolu.
Bathok Bolu, adalah nama sebuah cerita mitos tempurung kelapa—terdapat di pasarean atau makam mBirata-Purwamartani-Kalasan.
Mitos Bathok Bolu tersebut, konon siapa yang bisa mendapatkan bathok bolu hajatnya akan terkabul—bisa menjadi kaya, menjadi pejabat, dan sebagainya. Karena demikian mitos yang ada, maka kemudian banyak orang yang mencari dengan cara bertapa dipasarean tempat tempurung bathok bolu berada.
Bathok Bolu, adalah dua kata bathok dan Bolu. Bathok asalnya dari kata batin, bolu artinya utuh. Bathok Bolu artinya batin yang utuh. Batin yang utuh, adalah batin yang iman kepada Allah—hlaailahaillallaah.
Berdasarkan arti kata Bathok Bolu tersebut, maka ajaran yang didakwahkan para Wali di dalamnya adalah tentang pentingnya iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah.
Dalam perjalanannya, tempat pasarean atau makam mBirata-Purwamartani-Kalasan tersebut sekarang menjadi wisata tahunan yang disebut dengan istilah wisata Bathok Bolu.
Dalam wisata Bathok Bolu tersebut banyak diisi dengan kegiatan agama yang bisa meningkatkan iman seperti pengajian, mujahadahan, dzikir-tahlil, dan sebagainya hingga sesuai dengan ajaran tersirat dalam Bathok Bolu itu sendiri. Meskipun demikian, banyak juga diisi dengan kegiatan lain yang berbau telanjang dan judi seperti: dhang-dhut, jual barang berhadiah, dan sebagainya yang bisa menurunkan iman, hingga bertentangan dengan ajaran tersirat dalam Bathok Bolu tersebut.

b. Tuk Si Bedhug
Tuk Si bedhuk adalah nama sebuah cerita mitos tuk atau sumber mata air di daerah ngGamping Sleman. Tuk Si bedhug ini sangat dimitoskan oleh masyarakat sekitar—bisa menyembuhkan segala penyakit.
Tuk asalnya dari kata bathuk, sedang bathuk asalnya dari kata batin. Bedhug adalah alat untuk menyeru sholat—simbolisme sholat. Tuk Si Bedhug, maksudnya—batin manusia yang mempunyai iman kepada Allah—hlaailaahaillallaah, dengan menjalankan sariatnya, yakni sholat.
Berdasarkan arti kata Tuk Si Bedhug tersebut, maka ajaran yang didakwahkan para Wali di dalamnya adalah tentang pentingnya iman yang benar kepada Allah—lha illaha illallah, dan pentingnya sholat.
Dalam perjalannya sekarang ini, mitos tersebut dijadikan sebagai wisata tahunan yang disebut dengan istilah wisata Tuk Si Bedhug.
Kegiatan Tuk Si Bedhug, sama seperti wisata-wisata lain, artinya kecuali diisi dengan kegiatan agama yang bisa meningkatkan iman-amal sholeh seperti pengajian, mujahadahan, dzikir-tahlil, dan sebagainya hingga sesuai dengan ajaran dalam Tuk Si Bedhug itu sendiri, tetapi juga diisi dengan kegiatan-kegiatan lain yang berbau telanjang, dan judi seperti mdhang-dhut, jual rokok berhadiah, dan sebagainya yang bisa menurunkan iman-amal sholeh hingga bertentangan dengan ajaran Tuk Si Bedhug sebenarnya.

7. Dalam Sebuah Barang
a. Pacul
Pacul—pat-cul, kepanjangan dari sipat papat aja nganti ucul (sipat empat jangan sampai lepas). Sifat empat tersebut adalah sidiq, amanah, tabligh fatonah, atau pikir, dzikir, syukur, sabar.
Sidiq, artinya benar dalam perkataannya, amanah: bisa dipercaya, tabligh menyampaikan, fathonah: cerdik, atau pandai.
Fikir, artinya pikir bagaimana agar agama ini sampai pada setiap manusia. Dzikir artinya dalam menyampaikan agama selalu ingat kepada Allah. Syukur, bersukur karena telah dimuliakan Allah sebagai da’i. Sabar, hendaknya sabar dalam menyampaikan agama, karena mungkin difitnah, dicemooh, dan sebagainya.
Pacul bagian bawah, disebut dengan istilah bawak. Bawak jarwa dhosok (arti yang dipaksakan) dari obahing awak (bergeraknya tubuh)—simbolisme dari sebuah usaha.
Dalam pacul ada doran, jarwa dhosok dari aja maido mring pangeran, artinya jangan tidak percaya kepada Allah, artinya harus iman kepada Allah—lha illaha illallah.
Jadi Ajaran yang didakwahkan para Wali dalam pacul tersebut adalah agar hendaknya setiap orang Islam dalam berdakwah mempunyai empat sifat seperti disebutkan. Untuk mempunyai empat sifat seperti tersebut, hendaknya diusahakan dengan cara dakwah juga—didasari atas iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah.
Perlu diketahui bahwa arti dan atau tafsir pacul tersebut tidak selalu demikian—ada yang mengartikan dan atau mentafsir bahwa pacul itu: ngipatke barang sing muncul (membuang sifat-sifat kesombongan). Bawak: obahing awak (sama seperti yang telah diterangkan di atas). Doran: ndonga ing pangeran (berdoa kepada Allah). Arti dan atau tafsirnya, orang harus senantiasa melepas kesombongan, dengan cara usaha dan doa kepada Allah

b. Luku dan Garu
Luku adalah alat untuk menggarap (membajak) sawah—ditarik oleh dua kerbau atau sapi. Adapun bagian-bagian daripada luku itu ada: pegangan, tandhing, singkal, dan kejen.
Pegangan, artinya orang hidup itu harus mempunyai pegangan yang benar, yakni hlaailaahaillallaah—tidak ada Tuhan selain Allah.
Tandhing, hendaknya orang bisa membandingkan bahwa ketinggian agama Islam—lha illaha illallah itu adalah mutlak—al-Islaamu ya’lu walaa yu’la ‘alaihi: Islam itu adalah tinggi, dan tidak ada yang melebihi atas ketinggiannya.
Singkal, adalah tanah yang terpelanting di terjang oleh kejen luku. Kalau kita mengamati orang yang sedang mluku mengarap sawah, maka akan bisa melihat bagaimana tanah itu terpelanting atau tersingkap diterjang oleh kejen. Singkal, maknanya agar manusia senantiasa membuang atau menjauhi kejahatan.
Kejen—ke-ijen, artinya kepada satu. Maksudnya, niat melakukan segala sesuatu haruslah ihlas—semata-mata karena Allah, bukan karena yang lain: karena orang tua, karena pak Kyai, dan sebagainya.
Garu adalah alat untuk menggarap sawah—ditarik oleh dua kerbau atau sapi—sama seperti luku, tetapi bentuk dan fungsinya lain—bentuknya lebar, fungsinya untuk meratakan tanah yang sudah di-luku. Adapun bagian-bagian daripada luku itu ada: pegangan, tandhing, pancatan, olang-aling, dan racuk.
Pegangan, artinya orang hidup itu harus mempunyai pegangan yang benar, yakni hlaailaahaillallaah (sama dengan pegangan dalam luku).
Tandhing, hendaknya orang bisa membandingkan bahwa ketinggian agama Islam—lha illaha illallah itu adalah mutlak—al-Islaamu ya’lu walaa yu’la ‘alaihi: Islam adalah tinggi, dan tidak ada yang melebihi atas ketinggiannya (sama dengan tandhing dalam luku).
Pancatan, namanya orang berbuat, atau melakukan sesuatu itu hendaknya dengan menggunakan pancatan dasar atau alasan yakni Qur’an dan Hadits.
Olang-aling, simbolisme dari sebuah rintangan. Namanya orang amal agama untuk sampai pada allah, pasti ada rintangannya.
Racuk, jarwa dhosok dari ke arah pucuk (ke arah cita-cita). Dalam melakukan sesuatu (amal agama), walaupun banyak olang-aling atau rintangannya, tetapi tetap harus ditempuh hingga sampai pada tujuan (Allah).

C. Kecerdasan Mengayam Simbol
1. Dalam Sebuah Budaya Wisata
a. Grebeg Sekaten
Grebeg Sekaten adalah nama sebuah budaya wisata yang sangat agung—diadakan setiap tahun bulan Maulud di sejumlah keraton untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Grebeg artinya mengikuti, Sekaten asalnya dari kata syahadaten, artinya dua kalimat syahadat: pertama hlaailaahaillallaah (tidak ada Tuhan selain Allah), kedua Muhammadurrasuulullaah (Muhammad itu utusan Allah). Grebeg Sekaten, artinya mengikuti dua kalimat syahadat hlaailaahaillallaah, Muhammadur-rasuulullaah.
Bentuk wisata Grebeg Sekaten, yang paling utama adalah menonton gamelan atau karawitan. Untuk keraton Surakarta, Sekaten tersebut ada atau ditabuh di depan masjid Agung. Konon dulu bari gampil tanggapane, amung maos kalimat syahadat nuli Islam: setiap penonton masuk Sekaten mengucapkan dua kalimat syahadat (hlaailaahaillallaah–Muhammadurasuulullaah) kemudian masuk Islam.
Ajaran yang didakwahkan para Wali dalam Grebeg Sekaten tersebut adalah agar pertama manusia mempunyai iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah, kedua mengikuti sunah Rasulullaah.
Dalam perjalanannya untuk sekarang ini, Sekaten sudah tidak lagi dijadikan sebagai dakwah, tetapi lebih dijadikan sebagai tontonan biasa (jauh dari maksud dakwah yang sebenarnya), hingga bertentangan dengan ajaran tersirat dalam wisata Grebeg Sekaten sebenarnya.

b. Bekakak
Bekakak adalah nama sebuah budaya wisata—terdapat di Gamping Sleman. Acara utama dalam wisata Bekakak ini adalah mengiring boneka Bekakak, sampai di suatu tempat yang ditentukan kemudian disembelih, hingga mengalir darah—beras ketan.
Bekakak asalnya dari kata baqok, artinya kekal. Baqok adalah sifat Allah. Karena sifat Allah, maka yang dimaksud dengan Baqok itu adalah Allah itu sendiri. Karena demikian asal nama kegiatan wisata itu, maka ajaran yang didakwahkan para Wali di dalamnya adalah tentang pentingnya iman yang benar kepada Allah (lha illaha illallah).
Karena ajaran yang di dakwahkan oleh para Wali dalam bekakak adalah ajaran tentang pentingnya iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah, maka wisata tersebut mestinya berisi kegiatan-kegiatan agama yang benar untuk memuji dan membesarkan Allah seperti mujahadahan, pengajian, dhikir-tahlil, dan sebagainya hingga bisa meningkatkan iman. Tetapi tidak demikian kenyataannya, wisata tersebut diisi kecuali kegiatan agama, juga kegiatan lain yang bertentangan dengan agama, seperti hiburan yang berbau telanjang terutama dhang-dhut dan judi seperti jual rokok berhadiah, dan sebagainya yang bisa menurunkan iman.

c. Wanalela
Wanalelala—adalah nama suatu tempat, yakni desa di daerah Ngemplak Sleman Yogyakarta.
Wanalela, asalnya dari kata wana dan lela. Wana artinya hutan, lela dari kata hlaailaahaillallaah—tidak ada Tuhan selain Allah. Yang penting dari kata Wanalela tersebut adalah “lela”.
Berdasarkan arti kata Wanalela (lela) tersebut, maka ajaran yang didakwahkan para Wali di dalamnya adalah tentang pentingnya iman yang benar kepada Allah—hlaailaahaillallaah.
Desa Wanalela, dalam perjalanannya untuk sekarang ini mempunyai acara tahunan setiap Sura, yakni Wisata Wanalela dengan acara inti ngarak pusaka Ki. Ageng Giring, dan nyebar apem. Apem asalnya dari kata ‘afwun—artinya ampunan—bermakna agar diampuni atas segala salah dan khilafnya.
Dalam wisata Wanalela tersebut banyak diisi dengan kegiatan agama yang bisa meningkatkan iman seperti mujahadahan, pengajian, dzikir-tahlil, dan sebagainya. Oleh karena itu, kegiatan tersebut sesuai dengan ajaran tersirat dalam Wanalela. Tetapi meskipun demikian, banyak juga diisi dengan kegiatan lain yang berbau telanjang terutama ndhang-dhut, yang lain juga judi seperti jual rokok berhadiah, dan lain-lain. Yang demikian sudah barang tentu bisa menurunkan iman, hingga bertentangan dengan ajaran tersirat dalam wisata Wanalela tersebut.

2. Dalam Permainan Gangsingan
Gangsingan adalah sebuah permainan—biasa dilakukan oleh anak-anak, bahkan orang dewasa. Permainan tersebut terbuat dari kayu bentuknya bulat rata-rata sebesar kepal tangan—bagian atas adalah kepala, bawah perut dan pantat kemudian diberi paku.
Cara memainkannya, leher gangsingan dikalungi seutas tali, kemudian dipacu atau dilempar ke tanah hingga bergerak memutar kencang, tetapi sebentar kemudian mati. Jadi, gangsingan itu hidup sebentar kemudian mati (urip sak uripan)
Karena demikian permainan gangsingan, dimana gangsingan tersebut hanya urip sak uripan, maka ajaran yang didakwahkan para Wali di dalamnya adalah ajaran urip sak uripan. Artinya, ajaran yang mengingatkan kita pada kematian selebihnya agar tata-tata sanguning pati: siap-siap bekalnya orang mati yakni iman-amal sholeh.
Perlu diketahui bahwa permainan gangsingan dulu membudaya subur di tengah-tengah masyarakat Jawa, tetapi sekarang tidak. Masih ada sebenarnya, tetapi kadang-kadang karena tidak tahunya orang Jawa terhadap maksud gangsingan, maka digunakan untuk permainan terlarang (toh-tohan atau judi).


3. Dalam Tata Kota Keraton Yogyakarta
Yogyakarta, merupakan potret Pulau Jawa—menjadi Ibukota Indonesia sebelum Jakarta, di mana terdapat sebuah keraton dengan serta merta penataan kota di dalamnya yang sangat diagungkan oleh masyarakat Yogyakarta itu sendiri.
Mulai dari dusun Krapyak Bantul, ke utara ada dusun wijil. Di sebelah utara dusun Wijil ada jalan yang ditanami pohon tanjung dan kecik. Di sebelah utara jalan yang ditanami pohon tanjung dan kecik ada Plengkung Gading. Di sebelah utara plengkung gading ada alun-alun. Di sebelah utara alun-alun ada pasewakan dan Sela gilang. Di sebelah utara pasewakan dan Sela gilang ada jalan Malioboro. Di sebelah utara Jalan Malioboro ada Tugu Yogyakarta yang berdiri tegak menjulang ke atas.
Tata kota keraton Yogyakarta tersebut merupakan simbolisme dakwahnya para Wali kepada manusia.
Dusun Krapak, adalah simbolisme daripada tempat ketika roh manusia masih “di sana”—sebelum lahir.
Di sebelah utara dusun Krapyak, ada dusun Wijil. Wijil, asalnya dari kata mijil artinya lahir—simbolisme daripada manusia lahir.
Di sebelah utara dusun Mijil, ada jalan yang ditanami pohon tanjung dan kecik. Maknanya, manusia yang baru lahir itu sangat disanjung-sanjung, karena memang masih becik-becik, masih suci belum punya dosa.
Di sebelah utara jalan yang ditanami pohon Tanjung dan Kecik, ada Plengkung Gadhing. Plengkung Gading, adalah simbolisme daripada alis yang melengkung seorang remaja (simbolisme usia baligh).
Di sebelah utara Plengkung Gading ada alun-alun, asalnya dari kata alwanun (bahasa Arab), artinya beraneka ragam. Alun-alun tersebut biasa digunakan untuk kegiatan beraneka ragam: untuk belajar memanah, naik kuda, dan lain-lain. Maksudnya, agar anak itu setelah usia remaja mau belajar dengan baik—ditempa agama dan sebagainya, hingga usia dewasa menjadi orang yang berbakti kepada Tuhan menjalankan sholat—disimbolkan dengan sela gilang.
Dari alun-alun ke utara ada jalan Malioboro. Malioboro, asalnya dari kata wali dan obor. Wali (bahasa Arab), artinya kekasih—kekasih Allah yang banyak memberikan dakwah kepada manusia. Obor (bahasa Jawa), artinya lampu—berfungsi untuk menerangi kegelapan. Malioboro adalah Wali yang banyak memberikan dakwah kepada manusia untuk menerangi kegelapan. Jalan malioboro, adalah simbolisme daripada jalan dakwah seperti dilakukan oleh para Wali.
Malioboro ke utara, sampailah pada tugu yang berdiri tegak menjulang ke atas. Artinya apabila kuwajiban sholat dan dakwah itu ditunaikan dengan baik, maka jadilah orang yang bisa paham agama; paham Tuhan sebagai Holik, diri sebagai mahluk.
Berdasarkan tata kota Yogyakarta tersebut, maka ajaran yang didakwahkan para Wali di dalamnya adalah ajaran tentang pentingnya ibadah dan dakwah agar manusia paham kepada penciptanya, yakni Allah Subhanahuwata’ala.
Jadi kota Yogyakarta itu sebenarnya adalah kota yang diprogram sedemikian rupa agar rakyatnya mempunyai semangat agama baik ibadah maupun dakwah.
Sebagai kota yang diprogram agar rakyatnya mempunyai semangat agama, kecuali bisa dilihat dalam tata kotanya, juga bisa dilihat dalam kepemerintahannya. Dalam kepemerintahannya Raja bergelar Khalifatullah sayyidin panatagama, artinya khalifah yang diagungkan sebagai pemimpin agama.
Mungkin, memang Indonesia ini merupakan potret kehidupan agama yang dicita-citakan oleh pendahulu kita dulu, yakni ideal—ada Aceh sebagai potret kehidupan syare’at—ibadah, ada Yogyakarta sebagai potret kehidupan kebijakan—dakwah. Antara Aceh dan Yogyakarta ibarat dua sisi mata uang yang harus ada.

4. Dalam Gerak Tari: Sembah, Ngrangkul dan Seblak Sampur
Dalam gerak tari ada istilah sembah, ngrangkul, dan seblak sampur—selanjutnya diterangkan sebagai berikut.
Sembah, adalah gerak tari dalam bentuk kedua telapak tangan menyatu ke depan sebagai tanda permisi diri kepada penonton untuk menari. Kecuali sebagai tanda permisi diri kepada penonton untuk menari, sembah juga bermaksud doa.
Sembah simbolisme dari dakwahnya para Wali kepada manusia agar senantiasa taat kepada Allah—melakukan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Ngrangkul, biasa pula disebut dengan istilah nyathok—adalah gerak dimana tangan penari ke depan sambil memegang sampur layaknya orang merangkul.
Gerak ngrangkul ini adalah simbolisme dari dakwah para Wali kepada manusia agar senantiasa ngrangkul atau melakukan kebaikan.
Sedang seblak sampur adalah gerak di mana tangan penari ke belakang sambil membuang sampur. Seblak sampur ini adalah simbolisme dakwahnya para Wali orang senantiasa membuang atau tidak melakukan kejahatan.

5. Dalam Tirakatan
Tirakatan, asalnya dari kata thoriqun—thoriqoh, artinya jalan—menempuh jalan, atau istilah Jawanya gawe laku (amal)—maksud dan tujuannya untuk mendapatkan kepahaman agama (Tuhan).
Bentuk tirakatan ini banyak sekali, di antaranya ada yang menjalankan puasa, dzikir-tahlil, pengajian, lek-lekan (kumpul bersama- tidak tidur sementara maksudnya untuk muhasabah atau menghitung-hitung ketaatan diri kepada Allah sudah sampai sajauh mana), dan sebagainya.
Ada bentuk tirakatan dzikir tahlil yang dilakukan bersama-sama di suatu tempat rumah atau masjid. Setelah selesai kemudian makan bersama tumpeng atau ambeng yang ditaruh di atas encek dengan cara kembulan atau bathu (seperti sunah Nabi). Berkat asalanya dari kata berkah. Tumpeng maksudnya mengingatkan agar kita sekalian metu dalan sing lempeng (berbuat kebajikan sesuai tuntunan agama). Encek, maksudnya mengingatkan kita pada kematian—senantiasa ancik-ancik di atas kematian (dirundung kematian).
Ajaran yang didakwahkan oleh para Wali dalam ungkapan tersebut, agar agama itu tidak saja dipelajari, tetapi juga yang penting diamalkan. Agama yang tidak diamalkan tidak akan mendatangkan kepahaman, dan keberkahanan. Ilmu yang tiada amal bagai pohon yang tiada buah.
Perlu diketahui, untuk sekarang ini karena ketidak-tahuan masyarakat tentang arti dan maksud tujuan tirakatan, maka banyak tirakatan yang tidak dilakukan semestinya, seperti tirakatan semata-mata tidak tidur, atau bahkan tirakatan sambil main kartu judi, dan sebagainya.

6. Dalam Dhekah Desa
Dhekah desa, dhekah dhusun, dhekahan, atau sekarang merti dhusun. Dhekah—asalnya dari kata shodaqoh—sedekah memberikan sebagian harta yang paling disukai kepada orang lain.
Ajaran yang didakwahkan dhekah desa, adalah agar orang mau memberikan sebagian harta yang dimiliki kepada orang lain. Tidak saja agar mau memberikan sebagian harta yang dimiliki kepada orang laian, tetapi juga mau membersihkan harta yang dimiliki (zakat) kepada orang lain.
Bentuk dhekah desa ini mengadakan tasyakuran setelah panen padi—siang mengadakan keramaian: wayang, karawitan, atau yang lain, malam sebelumnya tirakatan terlebih dulu.
Karena kebanyakan orang tidak tahu dan tidak memikirkan arti, makna, maksud dan tujuan dhekah desa sebenarnya, maka bentuk dhekah desa sekarang ini menjadi macam-macam: ada yang melarung saji-sajian ke sebuah tempat, laut, sungai, gunung atau yang lain, ada yang menanggap kesenian-kesenian maksiat (kesenian baik, tetapi diisi dengan perkara-perkara naksiat), dan sebagainya—jauh dari arti, makna, dan tujuan dhekah desa sebenarnya.

7. Dalam Ungkapan Bahasa
a. Gupuh, Lungguh, Suguh
Ajaran yang didakwahkan dalam gupuh, lungguh, dan suguh tersebut, adalah tentang pentingnya orang memuliakan tamu.
Gupuh, artinya cepat-cepat. Maksudnya, jika orang kedatangan tamu, agar hendaknya cepat-cepat untuk menyambutnya.
Lungguh, artinya duduk. Maksudnya, setelah menyambut kedatangan tamu tersebut, agar kemudian mempersilakan duduk.
Suguh, artinya menjamu. Maksudnya, setelah mempersilakan tamu tersebut duduk, kemudian agar memberinya jamuan makan dan atau minum.
Gupuh, lungguh, dan Suguh tersebut merupakan ahlaq baik yang sangat dianjurkan oleh agama Islam, bahkan konon suguh atau menjamu tamu walaupun hanya segelas air putih itu wajib hukumnya, apa lagi gupuh dan lungguh (menyambut dan mempersilakan duduk).

b. Lenga Kayu Gapuk
Ajaran yang didakwahkan dalam lenga kayu gapuk tersebut, adalah tentang pentingnya jaga hati dalam rumah tangga.
Lenga—yen sing siji mentheleng, sing siji kudu lunga: jika yang satu melirik tajam, yang satu harus pergi. Maksudnya, jikalau suaminya sedang melirik tajam (marah) yang tidak terkendali, istrinya harus pergi tidak boleh sekecap genti sekecap (ganti marah)—tidak boleh suami (marah) membawa kayu (untuk memukul istri), istri membalas bawa sapu (untuk memukul suami).
Kayu—yen sing siji teka, sing siji kudu ngguya-ngguyu: jika yang satu datang, yang satu harus senyum-senyum. Maksudnya, jikalau yang satu (suami) datang, yang satu (istri) harus menyambutnya dengan senyum gembira.
Gapuk--yen sing siji wegah, sing siji ngepuk-epuk: jikalau yang satu tidak mau, yang satu harus memukul-mukul pantat. Maksudnya, jikalau yang satu (suami) baru lemah bekerja, yang satu (istri) harus memberi semangat.
Lenga kayu gapuk demikian sangat dianjurkan oleh agama—ini bisa dilihat ketika Nabi memberikan khutbah nikah. Jelasnya, ketikah Ali dan Fatimah nikah, Nabi memberi khutbah yang kira-kira mafhum-nya demikian:
“Wahai Ali, kamu jangan marah kepada Fatimah. Wahai Fatimah, kalau Ali marah, maka diamlah jangan membantah. Kalau kamu diam dan tidak membantah Ali masih marah, duduklah. Kalau duduk masih marah, tidurlah. Sekiranya tidur Ali masih marah pula, pergi dan wudlulah”.

8. Wadon, Putri, Wanita
Ajaran yang di dakwahkan dalam nama jenis kelamin orang itu adalah agar wanita mau menjaga diri sesuai dengan tertib wanita yang serba rahasia sebab kemuliaannya.
Wadon, artinya wadi: rahasia—sesuai dengan aturan agama Islam, tertib wanita yang serba tertutup rahasia. Bahkan dikatakan bahwa wanita itu adalah aurot yang harus ditututupi (almaratun ‘aurotun masturotun).
Putri: pupune di pepetri: pupunya dipelihara (di openi)—jangan sampai kelihatan terbuka, sebab pupu adalah bagian dari aurot wanita yang sangat sensitif bagi laki-laki.
Wanita, artinya wani ditata: berani diatur—sesuai dengan kedudukan wanita yang serba berwali, maka harus berani di atur (mau diatur) oleh bapaknya, atau suaminya apabila sudah punya suami. Itulah maka, wanita harus legawa (rela) menjadi kanca wingking yang geraknya sebatas kasur, dapur dan sumur.
Wanita pula harus legawa dengan pekerjaannya tiga m—macak, manak, dan masak. Macak: dandan—untuk suami, manak: melayani suami, dan masak: berhidmad pada suami.
Wanita pula harus legawa menerima prinsip wong lanang: menghormati orang laki-laki (suaminya) dimana bagaimanapun keadaan wong lanang (suaminya) ala-ala harus menang (jelek-jelek harus menang—hurus diakui sebagai pimpinannya).

Catatan Penting Tentang Berbagai Hal Dakwah
Catatan penting tentang berbagai hal dakwah para Wali di atas seperti: lole-lole, lae-lae dan sebagainya, sesungguhnya belum tentu seluruhnya benar dari para Wali. Tetapi karena muaranya dari sana (dari dakwahnya para Wali, karena memang para Walilah yang pertama kali dakwah), maka bagaimanapun sesuai dengan hukum nasabiah atau hukum keturunan atau bibit sekawit (bahasa Jawa ) berbagai hal tersebut bisa dikatakan dari para Wali.