Minggu, 16 Mei 2010

AYAH, LUPAKANLAH



Oleh: W. Livingston Larder

Dengarkanlah, anakku! Ayah mengatakan ini, sementara engkau tidur di ranjang, dengan tangan dikepalkan di bawah kepalamu, dengan rambutmu yang mosak-masik. Beberapa menit yang lalu, saya asyik membaca koran di kamar tengah, ketika timbul perasaan menyesal dalam hatiku.
Inilah yang teringat dalam hatiku, Nak: Aku kurang manis dan baik terhadapmu. Aku membentak dan menghukum engkau, ketika engkau berpakaian mau pergi sekolah, ketika engkau berpakaian mau pergi sekolah, karena engkau hanya menyeka mukamu belaka. Aku membentak engkau karena engkau ingin ke luar rumah dengan sepatu kotor. Saya marah kepadamu, ketika engkau menjatuhkan bukumu di tanah.
Ketika sarapan, aku banyak mengancam engkau. Roti kau jatuhkan. Kau telah memakannya seenak-enakmu saja. Sikumu kau letakkan di meja. Kau oleskan mentega terlalu tebal-tebal diatas roti.
Dan ketika engkau pergi sekolah, maka engkau melambai-lambaikan tanganmu, “Selamat tinggal, Pak!” maka aku merengut, dan menjawab, “Jalanlah agak lebih tegak!”
Sore ini, sama saja, saya ulangi dari mula. Ketika aku masuk di lorong, saya melihat engkau berlutut, sambil main gundu. Kausmu bolong-bolong. Aku menghina engkau di depan kawan-kawanmu, dan aku menyuruhmu pulang. “Kausmu itu mahal, jika engkau harus membeli sendiri pasti engkau akan lebih hati-hati”. Aku mengatakan itu, di depan anak-anak lainnya.
Dan masihkah engkau ingat, bagaimana engkau masuk ke dalam rumah, sementara aku membaca koran dan engkau agak malu-malu?
Ketika aku memandangmu, dengan muka agak muram, karena engkau mengganggu aku, maka engkau agak ragu-ragu berdiri diambang pintu. Dan aku berkata, “Mau apa lagi engkau?”
Engkau tak berkata apa-apa, akan tetapi sekonyong-konyong engkau mendekati aku, memeluk leherku, dan menciumku. Dan tanganmu memelukku erat-erat dengan kemesraan dan cinta, yang Tuhan perkembangkan dalam hatimu; rasa kasih sayang, yang tidak susut, meskipun telah kuabaikan. Kemudian engkau segera pergi, lari, sambil meloncat-loncat.
Nah, anakku, tak lama kemudian koran itu terlepas dari tanganku dan ada rasa cemas meliputi diriku. Apakah yang membuat saya demikian itu? Tak lain, kebiasaan untuk mencari-cari kesalahan dan mengecam.
Aku mengecam dan mengomel, tidak boleh karena aku sayang kepada engkau. Hal ini disebabkan, karena aku mengharapkan terlalu banyak darimu yang masih kecil itu. Aku mengukurmu dengan ukuran yang seharusnya dipakaikan pada orang-orang seumur aku.
Ada banyak hal-hal, yang baik, benar dan bagus dalam watak tabiatmu. Hatimu yang kecil itu, sungguh sangat besar. Engkau menunjukkan kebesaran hatimu, terbukti engkau menghampiriku, dan memberiku cium begitu mesra. Malam ini, biarlah, nak. Aku sekarang dalam gelap malam hari, menghampirimu, dan aku berlutut, malu akan diriku sendiri.
Ini adalah pertaubatan dan penjelasan yang lemah belaka. Dan aku yakin engkau tidak akan mengerti, seandainya kuterangkan semua ini kepadamu, waktu engkau sedang bangun. Akan tetapi besok aku akan menjadi ayah yang baik bagimu. Aku akan menjadi kawan sejatimu, dan ikut menderita kalau engkau menderita, dan tertawa kalau engkau tertawa.
Aku akan menggigit lidahku, kalau aku ingin mengucapkan suatu perkataan yang tidak enak. Aku setiap waktu akan berkata pada diri sendiri, “Ia adalah anak kecil, anak yang masih sangat kecil!” Aku tahu telah menilai engkau, seolah-olah engkau itu sudah dewasa dan besar. Akan tetapi aku tahu sekarang, nak, sementara engkau berbaring di ranjang, bahwa engkau masih seorang bayi belaka. Kemarin engkau masih digendong oleh ibumu, kepalamu bersandar di bahunya. Aku sungguh mengharapkan terlalu banyak daripadamu, terlalu banyak.

Tidak ada komentar: